Jumat 15 Maret 2019 dunia digemparkan dengan berita penembakan yang terjadi di Masjid Al-Noor dan Masjid Liwood di kota Chistchurch Slandia Baru pada jamaah yang melaksanakan sholat jumat. Aksi tersebut dikabarkan telah merenggut 49 nyawa dan 2 diataranya merupakan warga Indonesia.
Kejadian ini merupakan kejadian memilukan yang menyisahkan luka mendalam. Terlebih pelaku secara sadar menyebarkan aksi brutal tersebut ke akun media sosialnya. Tak sedikit juga warga dunia yang ikut menyebarkan rekaman yang berdurasi kurang lebih 17 menit tesebut.
Hari itu Slandia Baru diselimuti duka, pun warga dunia. Ribuan ucapan bela sungkawa ramai bertebaran di media massa. Warga dunia mengutuk aksi yang sudah dilakukan oleh Brenton Tarrant siang itu. Tidak hanya ucapan bela sungkawa, di media sosial juga ramai ciutan yang meminta netizen untuk men-stop penyebarluasan video rekaman penembakan tersebut. Selain dipenuhi dengan konten kekerasan, dengan tersebar luasnya video tersebut juga secara tidak langsung akan membantu pelaku untuk mencapai tujuannya yakni membuat masyarakat dunia takut, hal tersebutlah yang pelaku inginkan.
Menyebarkan video yang mangandung unsur kekerasan memang bukanlah hal yang pantas untuk dilakukan. Selain membuat rasa takut dan trauma, video yang mengandung unsur kekerasan juga berpotensi mempengaruhi perilaku orang yang menonton video tersebut dimasa depan.
Berdasarkan beberapa penelitian mengungkapkan bahwa dengan melihat kekerasan melalui media sosial dapat membuat penontonnya lebih rentan untuk berperilaku agresif (boxer et al., 2009; Carnegey, Anderson, Bartholow; Savage & Yancey, 2008).
Sebab di dalam otak terdapat sebuah neuron yang mampu merepons baik pada saat observasi maupun pada saat melakukan suatu tindakan yang menunjukan suatu mekanisme yang terlibat dalam peniruan belajar. Neuron tersebut dikenal dengan neuron cermin.
Sebuah surevy yang dilakukan oleh Suratte tahun 2002 yang dilakukan terhadap anak laki-laki yang pernah menunjukan penyerangan dan tindakan kekerasan, mengatakan bahwa dari mereka melakukan kejahatan karena terinspirasi dari media.
Menurut Allwoood (2007), ia mengungkapkan bahwa pemunculan kekerasan dengan menggunakan senjata di kehidupan nyata (ditembak atau menembak) juga akan meningkatkan kemungkinan bahwa seorang remaja akan terlibat dalam tindakan kekerasan dalam waktu dua tahun kepadan sebesar dua kali.
Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya jika kita lebih bijaksana dalam menggunakan media, tidak mudah meneyebarkan luaskan apa yang kita terima, terlebih apabila menggangung konten kekerasan. Selain itu juga kita membantu keluarga korban untuk pulih dari rasa trauma dan sedih akibat ditinggal keluarga terkasihnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H