Lihat ke Halaman Asli

Penyakit Hati itu Bernama Sombong

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebagai makluk yang hidup bermasyarakat, manusia tidak bisa menghindarkan diri dari interaksi sosial dengan orang-orang di sekitarnya. Tanpa kita sadari, interaksi sosial tersebut secara langsung ataupun tidak memaksa kita untuk berhubungan maupun berkomunikasi dengan orang lain. Dalam interaksi itulah, terkadang memunculkan perasaan bersaing antara satu dengan yang lain. Hal itu muncul dikarenakan adanya perasaan merasa ‘lebih’. Hal inilah yang kemudian disebut dengan istilah sombong atau al-kibr. Al-kibr secara bahasa berarti besar, secara istilah bisa diartikan perasaan (merasa lebih) besar dibandingkan dengan orang lain. Konteks besar di sini tentu bukan berarti dalam hal fisik namun dalam perasaan.

Sa’id Hawwa dalam Tazkiyatunnafs: Intisari Ihya Ulumuddin mengategorikan sombong menjadi dua macam: sombong dzahir dan sombong bathin. Sombong dzahir adalah kesombongan yang dilakukan oleh anggota tubuh. Sedangkan sombong bathin adalah sombong yang dilakukan oleh hati. Sombong bathin lebih berbahaya daripada sombong dzahir. Bagaimana tidak? Apabila kita renungkan, ternyata memang tingkah laku seseorang merupakan akibat dari yang tergolak dalam hati (bathin)-nya. Bagiamanapun ketika seseorang melakukan sesuatu hal tentu mengikuti apa yang terdetik dalam hatinya. Maka benar kiranya hadits Nabi yang mengatakan bahwa segala perbuatan itu tergantung pada niatnya. Karena memang, niat adalah yang menentukan gerak anggota badan setelah itu.

Kesombongan bathin akan memaksa anggota tubuh untuk melakukan hal-hal yang bersifat sombong, maka ketika berbuatan tersebut dilakukannya disebut dengan takabbur dan ketika hanyaterdetik di dalam hati disebut al-kibr. Kesombongan bermuara dari keinginan untuk mendapatkan kepuasan diri dan cenderung untuk memperlihatkan kepada orang lain hal yang ingin disombongkannya. Oleh karena itu, kesombongan memerlukan dua hal: orang yang sombong (mutakabbir bihi) dan orang yang disombongi (mutakabbir alaihi). Dua hal inilah yang membedakan antara sombong dan ‘ujub karena perasaan ‘ujub tidak membutuhkan orang yang disombongi. Kebiasaan memuji atau memuliakan diri sendiri terkadang menjerumuskan kita ke dalam perasaan ‘ujub. Walaupun tidak diketahui oleh orang lain, namun perasaan ‘ujub akan mendekatkan dan menjerumuskan kita kepada kesombongan. Untuk itulah kita harus berhati-hati ketika telah muncul ‘ujub dalam hati.

Kesombongan berasal dari sifat suka memuliakan diri dan seseorang tidak akan memuliakan dirinya sendiri kecuali meyakini bahwa ia memiliki sifat-sifat yang sempurna. Setidaknya ada dua kategori sebab seseorang bersifat sombong, yakni dalam urusan agama dan dunia. Dalam urusan agama, seseorang bersifat sombong karena ilmu dan amal perbuatannya. Sedangkan dalam urusan dunia, seseorang sombong disebabkan oleh keturunan (nasab), kecantikan, kekuatan, harta dan pengaruh.

Sebab pertama: Ilmu. Godaan serta dorongan terbesar dan terberat untuk sombong menurut Sa’id Hawwa adalah kepada pada orang-orang yang berilmu (ulama’). Orang-orang yang berilmu tersebut merasa mulia dan lebih tinggi derajatnya dikarenakan terbuai oleh kemuliaan, keindahan dan kesempurnaan ilmu yang dimilikinya sehingga dia menganggap rendah orang lain yang tidak berilmu. Ia menganggap orang lain bodoh dan tidak tinggi derajatnya sebagaimana dia. Ia ingin agar orang lain menghormatinya dengan ilmu yang dimilikinya. Sebagaimana termaktub dalam surat al-Mujadalah 11, orang-orang yang berilmu akan dinaikkan derajatnya lebih tinggi. Dalam memaknai derajat dalam ayat ini jangan sampai salah sebagai derajat duniawi yang justru menjerumuskan kita kepada kehinaan. Dan perlu kita ingat bersama, hisab pertama dan terberat adalah kepada para orang-orang yang berilmu.

Sebab kedua: Amal dan Ibadah. Tidak berbeda dengan orang-orang yang berilmu, ternyata para ahli ibadah juga banyak digoda dengan penyakit hati ini. Perasaan lebih mulia dari orang lain disebabkan karena ibadah yang dijalankannya lebih banyak dan sebagainya sangatlah berbahaya. Bagaimana tidak, perasaan yang terkadang muncul tanpa disadari tersebut sebenarnya justru menyebabkan salahnya niat. Dan ketika niat tidak lagi lurus, tidak hanya untuk Allah semata, maka seseorang tersebut terancam menduakan Allah SWT. Na’udzubillah. Maka ketika seseorang sedang beribadah berfikir tentang tingginya derajat yang dimilikinya, maka bisa dipastikan ada yang salah dalam ibadah yang dilakukannya.

Sebab ketiga: Garis Keturunan (Nasab). Suatu ketika, Abu Dzar al-Ghifari berdebat dengan seseorang. Kemudia dia berkata: “Wahai keturunan orang hitam (negro).” Seketika. Rasulullah menegur sembari berkata, “Wahai Abu Dzar, tidaklah orang yang berkulit putih lebih utama daripada orang yang berkulit hitam.” Menyadari kesalahannya, Abu Dzar berbaring dan berkata kepada orang itu, “Berdirilah dan injak pipiku” (Riwayat Ibnu Mubarak). Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan bahwa Nabi SAW berkata kepada Abu Dzar, “Sadarlah, sesungguhnya kamu tidak lebih mulia daripada orang yang berkulit merah atau hitam kecuali ketaqwaanmu lebih tinggi daripadanya.” Sebuah pelajaran yang bisa kita dapatkan dari kisah Abu Dzar tersebut bahwa sahabat Nabipun tidak terhindar dari sifat sombong, apalagi kita. Ketika seseorang memiliki nasab yang baik, sebut saja seorang bangsawan kerajaan (darah biru) sudah seharusnya tidak menganggap rendah orang lain, karena memang yang membedakan antara satu hamba dengan hamba yang lain adalah ketaqwaannya.

Sebab keempat: Kecantikan. Poin keempat ini tidak dimaksudkan untuk mendeskreditkan kaum wanita. Namun memang demikian yang terjadi, banyak kaum wanita yang tergoda untuk menyombongkan diri dikarenakan kecantikannya. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa suatu hari ada seorang wanita yang menemui Nabi. Siti Aisyah yang ada ketika itu mengatakan, “Wanita itu pendek,” tersirat dari gerakan tangannya. Nabi SAW kemudian mengatakan, “Kamu telah menggunjingnya.” Sudah seharusnya kita menjaga diri dari kesombongan hanya karena kecantikan ataupun ketampanan. Karena memang Allah SWT tidak akan melihat ketampanan atau kecantikan kita, namun yang dilihat adalah hati.

Sebab kelima: Harta. Apabila mau merenungkan, sesungguhnya harta yang kita miliki saat ini hanyalah titipan Allah SWT yang kelak harus dipertanggungjawabkan. Ketika sadar akan hal itu, sudah seharusnya tidak muncul perasaan sombong dikarenakan banyaknya harta yang sudah diraihnya.

Sebab keenam dan ketujuh: kekuatan serta pengaruh. Apabila dicermati, kedua sebab ini sebenarnya berkaitan. Ketika seseorang merasa kuat dalam arti fisik, maka dia pun memiliki pengaruh ataupun pengikut serta pendukung. Kekuatan fisik yang dimiliki seseorang seharusnya bisa dimaksimalkan untuk menolong orang lain yang lemah. Ketika memberikan pertolongan ini tidak seharusnya dibarengi dengan perasaan lebih ‘kuat’. Namun godaan untuk memunculkan sifat seperti itu tentulah ada. Begitu juga terkait pengaruh. Terkadang ketika seseorang merasa mempunyai pengaruh yang besar, sering diganggu perasaan ingin dihormati, disegani dan ditakuti oleh orang lain. Perasaan ini tentu muncul karena perasaan tingginya derajat yang mereka miliki.

Perlu direnungkan, sesunggunya kesombongan itu hanyalah miliki oleh Allah SWT sebagaimana sifat al-mutakabbir yang dimilikinya. Tidak ada hak untuk sombong bagi seorang hamba. Maka sudah seharusnya kita menghidarkan diri dari penyakit hati yang satu ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline