Lihat ke Halaman Asli

Ibn Ghifarie

Kandangwesi

Saatnya Menyembelih Sifat Kebinatangan

Diperbarui: 19 Juli 2021   20:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejatinya, kehadiran Iduladha (Hari Raya Kurban) yang diperingati setiap 10 Dzulhijjah dan jatuh pada tanggal 20 Juli 2021 ini tidak hanya melaksanakan perintah memotong hewan kurban (sapi, kambing, kerbau), tetapi menjadi momentum yang tepat untuk meneladani keluarga Ibrahim sebagai sarana menyembelih sifat kebinatangan yang ada dalam diri kita.

Pasalnya, dalam suasana pandemi Covid-19 ini kita sering melakukan kekhilafan dengan menimbun masker di Semarang, Makassar, Tanjung Duren, Tangerang; oksigen di Surabaya. Alih-alih menumbuhkan sifat egois, ketamakan demi menumpuk kekayaan, memperkaya diri sendiri di atas penderitaan orang lain.

Walhasil, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa hukum haram atas perilaku menimbun oksigen, obat, dan hal terkait Covid-19, untuk kepentingan sendiri di tengah banyak masyarakat yang membutuhkan.

Tindakan yang menimbulkan kepanikan yang menyebabkan kerugian publik, seperti memborong dan menimbun bahan kebutuhan pokok dan menimbun masker hukumnya haram.

Hawa Nafsu
Ingat, segala bentuk kejahatan, kemunkaran yang terpatri dalam sanu bari kita itu bersumber dari hawa nafsu. Azyumardi Azra, menjelaskan ibadah haji yang bersumber dari tradisi keagamaan Nabi Ibrahim tentu saja terkait erat dengan ibadah kurban.  Karena itu Hari Raya Haji (Hari Raya Id Al-Adha) juga dikenal sebagai hari Raya Qurban.

Ibadah kurban bermula ketika Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim melalui mimpi untuk menyembelih (mengorbankan) putranya, Islamil seperti yang termaktub dalam Al Qur'an Surat Al-Shaffat [37] 100-111.

Perintah Allah ini merupakan ujian yang berat bagi Nab Ibrahim. Sebab baginya Ismail bukanlah sekedar seorang putra, tetapi idalam hatinya dan pelipur lara di tengah perjuangan hidupnya yang berat melawan penindasan Namrud dan pengikutnya untuk menegakan Tauhid.

Akan tetapi inilah ujian yang sebenarnya, dan inilah Jihad Akbar, jihad melawan kemauan dan egoisme diri, yang sering justru menguasai manusia baik secara individu maupun kelompok. Ketika egoisme diri (kelompok) menguasai manusia, ketika itulah manusia melupakan Tuhan dan mengabaikan ajaran-ajarannya yang justru dimaksudkan untuk meninggalkan harkat kemanusian itu sendiri.

Kemunculan egoisme, Ananiyah seperti egoisme politik, agama dan suku yang sekarang cenderung semakin meningkat dalam masyarakat kita. Hal ini hanya akan mengantarkan kita kepada kekalahan (kehancuran).

Kebahagiaan akan dimiliki oleh hamba Allah yang berjuang demi Allah melawan sifat dan nafsu-nafsunya sendiri; orang yang dapat mengalahkan nafsunya akan memperoleh ridha Allah dan orang yang akalnya meninggalkan nafsunya yang memirintah untuk berbuat jahat, melalui perjuangan jihad, penyerahan diri dan kerendahan hatinya demi berbakti kepada Allah, berarti ia telah menenangkan perang yang besar.

Tidak ada selubung di antara seseorang hamba dengan Tuhannya yang lebih gelap (terasing) daripada selubung diri (nafsu); tidak ada senjata yang lebih baik untuk memerangi dan menghancurkan mereka daripada kebutuhan mutlak akan Allah yang Mahamulia. Jika ia hidup sesuai dengan jalan yan lulus, maka akhir hidupnya akan membawanya kepada ridha Allah yang terbesar. Allah berfirman; kepada orang-orang yang berjuang di pihak kami melawan musuh, akan kami tunjukkan jalan-jalan kebahagiaan. Sesungguhnya Allah berserta orang-orang yang berbuat baik. (Al Qur'an Surat Al-Ankabut, [29]:69).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline