Lihat ke Halaman Asli

Ibn Ghifarie

Kandangwesi

Toleransi Tumbuh Dalam Bencana

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa pun bentuk bencananya (banjir, longsor, gunung meletus, konflik, peperangan antarsuku) pemberian bantuan (makanan, minuman, selimut, pakaian) selalu dinilai negatif oleh sebagian masyarakat. Apalagi uluran bantuannya dari non muslim untuk korban atas kelaliman manusia. Sebutan proses Kristenisasi, Katolikisasi, Hindunisasi, Budhasisasi, Konghucuisasi dan pemurtadan pun kerap menimpa pada mereka yang menyedikan perbagai kebutuhan sandang, pangan dan papan. Namun, bila segala petakan ini menimpa komunitas minoritas (Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu) dalam satu kampung dan Umat muhammad memberikan pertolongan tak ingin dikategorikan proses Islamisasi saat . Ironis memang. Anggapan miring ini tak berlaku bagi warga Kp. Cieunteung, Desa Baleendah, Kecamatan. Baleendah, Kabupaten. Bandung yang tengah dilanda banjir tahunan.  Jaja (43) Ketua RW 20 mengaku, warga Cieunteung yang hampir semua Muslim berhubungan baik dengan berbagai relawan dan donatur yang berbeda agama. "Secara terbuka, mereka dari Katolik, Kristen (Protestan), Buddha, datang menawarkan berbagai bantuan dan aksi kemanusiaan yang memang sangat dibutuhkan warga korban banjir, tanpa embel-embel lain. Alangkah naif bila kami menolaknya hanya karena perbedaan agama, apalagi bantuan dari pemerintah minim. Selama tidak berusaha memengaruhi akidah yang kami yakini, warga juga menerima bantuan dan berhubungan baik dengan mereka," ucapnya. Ia mengaku kenal cukup baik dengan salah seorang sukarelawan katolik yang ke-rap aktif turun memberikan bantuan langsung kepada warga saat banjir melanda. Interaksi terjalin sejak 2005 dan makin membaik sejak 2007 karena frekuensi banjir yang meningkat. "Saya pribadi salut dengan kawan-kawan non-Muslim, salah satunya Pak Subay. Dia orang Papua, berbeda agama, tapi begitu rajin membantu bersama teman-temannya, bahkan sampai berenang dalam lumpur membagikan nasi bungkus ke daerah-daerah yang tidak terjangkau perahu. Mereka juga yang aktif menggiring sekolah-sekolah non-Muslim untuk mengarahkan bantuan ke warga Cieunteung," katanya. Pun dibenarkan oleh Yosep Subay, aktivis Gereja Katolik St. Fransiskus Xaverius, Kabandung. Bandung. Ia mengaku, aksi kemanusiaan digalang tanpa niat menghilangkan perbedaan. Meski selalu diawali perkenalan identitas sebagai Nasrani, semua dilakukan dengan dasar solidaritas dan selalu diawali dengan keterbukaan. Jika bantuan datang dari sesama manusia, tidak hanya kepada warga Cieunteung, tetapi juga beberapa warga korban banjir di wilayah lain, seperti di Desa Bojongsoang. "Kerikil ada saja. Ada beberapa orang yang mencoba menghasut warga agar menolak bantuan dari pengobatan karena takut jadi ajang pemurtadan. Tapi, sering pula hasutan itu ditentang warga lainnya," tuturnya. Kepala Desa Bojongsoang Rohayati mengatakan, pemerintah desa memang mengakomodasi bantuan dari berbagai pihak. Tidak ada resistensi dari masyarakat penerima bantuan. "Tidak hanya dari sesama Muslim, tapi banyak juga dari Katolik, Kristen, Buddha, Hindu yang memberikan bantuan atau pengobatan gratis untuk korban banjir. Meski berbeda, tujuan bantuan sama, membantu meringankan beban sesama manusia. Jadi, sungguh sa-ngat kerdil kalau menolak bantuan kemanusiaan hanya karena berbeda suku atau agama, apalagi bantuan dari pemerintah juga terbatas," ujarnya. Dalam kesusahan seperti bencana, toleransi tumbuh berbalut solidaritas antarmanusia. Kita tentu berharap tidak hanya karena kejadian insidental (bencana atau rutinitas pengamanan bersama hari raya) saja kemesraan antarumat beragama itu tampak. Setelah digerogoti banyak konflik dan bencana alam, bangsa bineka ini rindu keindahan perdamaian, dalam perbedaan dalam kehidupan sehari-hari. (Pikiran Rakyat, 24/12) Dengan demikian, sikap toleransi tidak hadir semata karena ada bencaa, peringatan natal dan tahun baru, tapi mesti hadir dalam sanubari kita setiap waktu. Tanpa itu semua niscaya kerukunan antarumat beragama akan mewujud di bumi pertiwi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline