Konon, bagi sebagian santri ada suatu kebanggan tersendiri bila bisa melanjutkan sekolah ke Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Pasalnya, kita dapat menimba ilmu dari salah satu universitas tertua di dunia sekaligus menjadi salah satu benteng yang kokoh dari peradaban Islam Sunni. Ingat, Al-Azhar berasal dari sebuah masjid bernama Al-Azhar yang dibangun Panglima Besar Dinasti Fathimiyah, Jauhar As-Shaqaly, 359 H sebagai tempat ibadah semata. Baru setelah enam tahun berfungsi sebagai tempat ibadah didirikanlah bangun tempat kegiatan belajar dan majelis ilmu pengetahuan bermazhab Syi’ah Ismailiyah. Tak hanya berhenti disini. 12 (378 H/988 M) tahun pascapembentukan mejelis Al-Azhar berkembang menjadi universitas besar dan berpengaruh kesuluruh jagat raya ini. Apalagi pada masa kepemimpinan Sultan Al-Zahir Beibars keberadaan Al-Azhar semakin mengokohkan pusat peradaban ilmu, diantaranya; Pertama. Ekspansi yang dilakukan pasukan Tatar terhadap kekhalifahan Dinasti Abbasiah di Baghdad menyebabkan pindahnya pusat kekhalifahan ke Mesir (660-923 H). Sejak itu, khalifahan Abbasiah berakhir dan bermunculnya Daulah Usmaniah di Turki. Walhasil, banyak ulama Muslim dari Timur hijrah ke Mesir karena Mesir berhasil mengalahkan Tatar dalam peperangan ‘Ain Jalut yang dipimpin Raja Mesir Sultan Saifuddin Al-Muzaffar Quthz. Kedua, Ketertindasan umat Islam di Andalusia oleh orang Eropa membuat mereka berhijrah ke Kairo. Zuhairi Misrawi sebagai orang yang pernah nyantri di Universitas Al-Azhar, mencoba mengurai pesona Al-Azhar melalui buku bertajuk Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan. Harus diakui, memang tidak mudah mengadakan reformasi di Al-Azhar. Ini terlihat jelas saat Sheikh Muhammad Abduh mengusulkan Muqaddimah Ibn Khaldun untuk dimasukkan menjadi materi dalam kurikulum Al-Azhar, ditolak oleh Sheikh Muhammad Al-Anbani, Sheikh Al-Azhar waktu itu. Ikhtiar untuk memasukkan materi ilmu-ilmu pengetahuan umum di Al-Azhar baru berhasil pada tahun 1895 M. Kehadiran model perkuliahan yang diklasifikasikan dalam Fakultas ‘Ilmi (sains) dan Adaby (agama) merupakan salah satu petanda univeristas modern. Terlebih lagi saat membuka tiga Fakultas; Ushuluddin, Syariah dan Bahasa Arah melalui Undang-undang pada 1930 M semakin meneguhkan keberadaan Perguruan Tinggi yang modern. Apalagi pada masa Sheikh Mahmud Syaltut (1961 M) yang berhasil mengekeluarkan Undang-Undang Nomor 103 Tahun 1961 M tentang penetapan Fakultas-fakultas cabang ilmu pengetahuan umum, seperti Fakultas Kedokteran, Perdagangan, Teknik, Pertanian, dan Farmasi. Sungguh meyakinkan Al-Azhar sebagai gudangnya ilmu pengetahuan dunia. Ketakjuban terhadap Al-Azhar ini terekam dalam ungkapan KH Abdurrahman Wahid (Alm) "Saya banyak menyimpan kenangan pada masa saya tinggal di Mesir, saat belajar di al-Azhar. Masa-masa itu adalah saat yang paling penting dalam hidup saya, sebab saat itu merupakan pembentukan kepribadian. Saya lahir tahun 1940 dan saat di Mesir itu saya in the prime of life" Tak kurang dari 4.000 mahasiswa Indonesia tengah belajar ilmu agama Islam di universitas ini. Di usianya yang sudah mencapai lebih dari satu milenium, al-Azhar masih terus memancarkan pesonanya ke seluruh muka bumi. Mari berziarah ke menara ilmu. [Ibn Ghifarie] Judul : Al-Azhar, Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan Penulis : Zuhairi Misrawi Penerbit : Buku Kompas Tahun : I, Agustus 2010 Tebal : 353 halaman Harga : Rp 58.000
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H