Lihat ke Halaman Asli

Ibn Ghifarie

Kandangwesi

Nyepi dan Toleransi Sejati

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bertenggernya situs Candi Cangkuang di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, merupakan bukti nyata keharmonisan sekaligus kekekalan kebajikan abadi antara pengikut Hindu dan Islam di Pasundan. Pasalnya, dari tengah situs Cangkuang ini terpancar keterbukaan, toleransi, dan keragaman. Konon candi bercorak Hindu ini ditemukan pada 1966 oleh tim peneliti Harsoyo dan Uka Candrasasmita berdasarkan laporan yang ditulis Vorderman dalam buku notulen Bataviaasch Genootshap (terbit tahun 1893). Bangunannya berbentuk candi "polos" tanpa relief apa pun. Tingginya 8,5 meter dengan bangunan kaki 4,5 meter x 4,5 meter. Uniknya, candi ini memiliki satu bilik dengan pintu menghadap ke timur. Untuk mencapai pintu candi, pengunjung harus menaiki 10 anak tangga. Tempat pemujaan arca Dewa Siwa (Hindu) di sekitar situ yang bersebelahan dengan makam keramat (Islam Mataram) Embah Dalem Arif Muhammad merupakan pertanda tumbuh dan berkembangnya semangat perdamaian pada masyarakat Kampung Pulo (Panjang, Leuthik, dan Gedhe). Harus kita katakan, Candi Cangkuang yang berdiri kokoh sekarang ini sebetulnya adalah hasil rekonstruksi yang diresmikan tahun 1978. Sebab, bangunan aslinya hanya tinggal 35 persen. Hingga kini bentuk bangunan Candi Cangkuang yang asli belum diketahui. Penamaan Candi Cangkuang diambil dari nama Desa Cangkuang. Embah Dalem Embah Dalem Arif Muhammad, panglima perang dari Kerajaan Mataram, pada awal abad ke-17 bersama prajuritnya mencoba menyerang tentara VOC atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur di Batavia. Alhasil, mereka kalah. Kuatnya rasa malu membuat Embah Dalem Arif Muhammad beserta rombongannya mengurungkan niat pulang ke Kerajaan Mataram. Lebih baik mereka terlunta-lunta di daerah ekspansi daripada harus menanggung malu di tanah jajahan. Begitu kuat itikad mereka supaya tidak pulang ke Kerajaan Mataram. Dalam suasana bimbang, Embah Dalem memutuskan untuk menetap di kawasan Cangkuang yang masih memeluk kepercayaan animisme, dinamisme (agama suku), dan Hindu. Dapat dipastikan Embah Dalem Arif berusaha menyebarkan ajaran Islam dengan arif dan bijaksana. Membuat danau yang mengelilingi desa merupakan persyaratan bagi Embah Dalem Arif untuk menikah dengan seorang putri cantik yang merupakan penduduk asli. Mereka pun dikaruniai enam anak perempuan. Sebagai upaya mengenang putri Embah Dalem, dibuatlah enam rumah dan satu mushala yang tepat berada di belakang Candi Cangkuang dan dapat dipastikan muncul petaka bila berani menambah permukiman baru di kawasan ini (Kompas, 28/2/2009 dan 18/2/2010). Menurut Zaki Munawar dalam bukunya, Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya, ihwal jumlah bangunan berupa enam rumah dan satu mushala merupakan aturan yang ditetapkan Arif Muhammad. Embah meninggalkan warisan berupa barang antik, khotbah Idul Fitri, naskah khotbah Jumat dari kulit kambing (1,76 cm x 23 cm), Al Quran dari kulit kayu saih (33 cm x 24 cm), serta kitab ilmu tauhid dan fikih. Sampai sekarang semua masih terawat meski ada yang lapuk dimakan usia. Tak hanya makam Embah yang menjadi tempat berziarah. Makam sejumlah murid-Sunan Pangadegan, Wiradijaya, Wirabaya, Prabu Santosa, dan Mayagatrek-yang berasal dari Cirebon pun menjadi pelengkap berwisata religius. Ingat, dalam ziarah, kedua peninggalan ajaran Hindu-Islam ini memiliki aturan ketat, di antaranya, pertama, harus membawa bara api, kemenyan, minyak wangi, bunga-bungaan, dan cerutu sebagai upaya mendekatkan diri kepada arwah-arwah leluhur. Kedua, dilarang berziarah pada hari Rabu karena Embah berusaha mengajarkan agama kepada anak-anaknya. Ketiga, bentuk atap rumah harus memanjang (jolopong). Keempat, tidak boleh menabuh gong besar. Ini berkaitan dengan kematian anak laki-laki saat sunatan akibat gong besar berujung pada angin topan. Kelima, dilarang memelihara ternak berkaki empat, yaitu kambing, sapi, atau kerbau. Bentuk larangan ini untuk melestarikan tanaman di Kampung Pulo. Keenam, setiap tanggal 14 Mulud digelar upacara adat memandikan benda-benda pusaka, yaitu keris, batu aji, dan peluru dari batu. Toleransi Momentum Nyepi 1932 Saka yang jatuh pada 16 Maret 2010 sejatinya harus menjadi modal utama dalam membangun keharmonisan dialog antar-agama sekaligus membawa pesan kedamaian bagi kerukunan hidup beragama di Pasundan. Pasalnya, segenap umat Hindu di Jawa Barat meyakini keharmonisan dan perdamaian sebagai berkah terpenting dalam perayaan Nyepi. Memang perayaan Tahun Baru Saka bertepatan dengan tanggal satu bulan kesepuluh (Eka Sukla Paksa Waisak), sehari setelah Tilem Kasanga (Panca Dasi Krsna Paksa Caitra). Peresmian Nyepi ini dimulai sejak penobatan Raja Kaniskha dari Dinasti Kushana, suku bangsa Yuehchi, pada 78 atau 79 Masehi. Menurut catatan Negarakertagama, dahulu pada masa Kerajaan Majapahit, pergantian tahun Saka dari bulan Caitra ke Waisaka ini dirayakan besar-besaran. Beragam ritual dilakukan oleh umat Hindu. Tentu perayaan Nyepi harus melalui beberapa tahapan ritual. Pertama, melasti (pertobatan). Kedua, tawur (mengembalikan keseimbangan alam, manusia). Ketiga, catur brata Nyepi (empat ritual puasa: amati geni/tidak menyalakan api, amati karya/tidak melakukan pekerjaan sehari-hari, amati lelungan/tidak bepergian, amati lelanguan/tidak menghibur diri serta tidak boleh memasak dan memakai lampu penerangan). Terakhir, ngembak geni (melakukan darma santi/ibadah sosial berupa silaturahim kepada sanak kerabat dan tetangga). Cita-cita agung dari perayaan ini adalah mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin (jagadhita dan moksa), terbinanya kehidupan yang berlandaskan kebenaran (satyan), kesucian (siwam), serta keharmonisan dan keindahan (sundaram). Unsur-unsur Nyepi ini membuat Nyoman S Pendit menulis buku Nyepi, Kebangkitan, Toleransi, dan Kerukunan, menilik brata penyepian di Bali tidak hanya milik Hindu. Ini terlihat dari perilaku umat non-Hindu yang tak bepergian kecuali bagi yang bertugas di rumah sakit atau aparat keamanan. Mereka juga tidak menyalakan lampu secara mencolok. Sungguh syahdu. Sikap toleran dan membangun kerukunan antar-umat beragama terpancar dari perayaan Nyepi. Dengan demikian, Nyepi mengajarkan kita pada sikap toleransi, kerukunan, dan keharmonisan di antara semua ciptaan Tuhan. Kiranya kita harus mendengungkan petuah ini, Maju teruslah engkau, jangan berselisih (tikai) di antara kamu; milikilah pikiran-pikiran yang luhur dan pusatkan pikiranmu pada kerja; ucapkanlah kata-kata manis di antara kamu; Aku jadikan engkau semuanya bersatu dan aku anugerahi engkau pikiran-pikiran mulia (Weda-Athanwa III, 30:5). Inilah makna Nyepi dalam membangun toleransi sejati antar-agama di Parahyangan. Sinar toleransi terpancar dari Candi Cangkuang. Selamat hari raya Nyepi 1932. Semoga semua makhluk berbahagia. IBN GHIFARIE, Pegiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama (Artikel ini dimuat pada Forum Kompas Jawa Barat, edisi Senin, 15 Maret 2010)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline