"Sebenarnya kami tidak keberatan jika calon Sekda beragama nonmuslim. Tapi kami keberatan kalau mereka berasal dari Ahmadiyah" tutur Ketua Koalisi Tatang Sopiana
Ratusan masa yang tergabung dalam Koalisi Aktivis Ulama Santri dan Pondok Pesantren Kabupaten Garut dan gerakan Reformasi Islam (Garis) Kabupaten Garut melakukan aksi demo menolak pencalonan Iman Alirahman sebagai calon Sekretaris Daerah (Sekda) di Gedung Sate, Rabu (4/11)
Iman Alirahman, salah satu dari lima calon Sekda terpilih, diduga kuat terkait dengan aliran Ahmadiyah. Kelima Sekda diantaranya; Hilman Hafidz, Iman Alirahman, Widiyana, Deni Suherman dan Miftahul Rahman.
Kendati, Tatang mengaku tidak mempunyai bukti yang cukup tentang dugaan aliran sesat itu, kecuali selambaran milik Ahmadiyah. Imam tercatat di salah satu program aliran Ahmadiyah "Visi Gemilang" tahun 2006.
"Kita tegas menolak Iman. Apalagi Garut itu terdiri dari banyak pesantren. Kita yang demo ini didukung 500 Pondok Pesantren di garut. Apalagi, dia juga terlibat dalam kasus korupsi penjualan aset daerah dalam APBD tahun 2004 dan 2006," beber Tatang. (Bandung Ekspres, Kamis 5 November 2009)
Membaca Harian Pagi Bandung ini, sedikit bertanya; Apakah benar kita rela di pimpin oleh nonmuslim? Adakah yang salah dengan Ahmadiyah? Benarkah Garut Kota Santri? Bagaimana dengan yang tidak beragama? Masih adakah tempat bagi mereka? gumamku
Inilah beberapa catatan upaya menertibkan keyakinan orang lain, diantaranya; Sebuah Gereja di Cisewu kabupaten Garut (April 2005) ditutup. (Wahid Institute); 72 orang pengikut jemaat Ahmadiyah di desa Pamulihan, Kecamatan Cisurupan, Garut, Jawa Barat dipaksa keluar dari keyakinan mereka (Juli 2005). Di bawah todongan senjata tajam jawara yang dikerahkan kepala desa, mereka dipaksa menandatangi pernyataan keluar dari Ahmadiyah (Radio Nederland); Penyerangan terhadap rumah Asep Rahmat, pimpinan Jama'ah Dzikir Asmaul Husna al-Jabar, di Desa Karyasari, Banyuresmi, Garut (Oktober 2007). Mereka merusak dua mobil dan tiga sepeda motor. (Kautsar Azhari Noer-Diskusi); Sekitar 100 orang yang sebagian warga kampung Janggol, Desa Pamulihan, Kecamatan Cisurupan, Garut, menghancurkan Masjid Assalam Mirza di Kampung Pangauban, Cisurupan, Garut. (10 Oktober 2007). Masjid itu adalah milik Ahmadiyah. (Monthly Report on Religious Issues-The WAHID Institute Edisi 5, Desember 2007, h. 1, 4, 6); Senin malam itu lima lelaki bergegas. Mereka menyusuri jalan besar di Kampung Ciparay, Sukarya, Kecamatan Samarang, Garut, Jawa Barat. Menikung ke kanan, kapak dan pentung terayun di tangan mereka. Seorang di antara mereka “menampar” kaca jendela masjid itu. (April 2008). Prang, prang. Sunyi pecah. Lainnya, merusakkan pintu, menghancurkan genting, membobolkan langit-langit bilik. Malam itu memang tak ada perlawanan. Seperti biasa, selepas salat Isya pintu masjid dikunci. Masjid itu milik pengikut Ahmadiyah Qadian, dibangun pada 1973. (Arsip Pecas Ndahe/Ndoro Kakung);
Diakui atau tidak Sulitnya Hidup Bersama. Berbeda pendapat, pemahaman, keyakinan dan tata cara ibadah apalagi. Mari kita lantunkan sekaligus berdzikir ayat-ayat antikekerasan “Stop Kekerasan atas nama Agama”, “Save our Freedom”, “Stop Religious Fascism”, “Agama=Damai”, “Love for All Hatred for Non" (Aksi Damai, Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) edisi 5 Mei 2008)
Keikutsertaan Pondok Pesantren As-Salam, Pondok Pesantren Nurul Huda, Pondok Pesantren Miftahurrahmah, Pondok Pesantren Darul Ulum, Pondok Pesantren Miftahulhuda (Garut) dalam halqah (diskusi) "Islam Demokrasi dan Penegakkan Keadilan" di Cijawura (15-17 Juni 2007). Salah satu bentuk nyata Santri dan Ulama mengutuk aksi kekerasan atas nama agama dalam bentuk apapun.
Nyatanya, jaminan kebebasan berkumpul, berserikan dan beragama sesuai dengan keyakiannya dan hak kemerdekaan pikiran, nurani dan kepercayaan hanya berhenti pada Pasal-pasal (28 ayat 2, 29 ayat 1 dan 2), Undang-undang (No 1/PNPS/1965) dan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No 477/ 74054/ BA.012/ 4683/95 tertanggal 18 November 1978 semata.
Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi mendesak pemerintah bertindak cepat dan solutif untuk menyelesaikan kekerasan terhadap kelompok agama tertentu, termasuk jemaah Ahmadiyah. Penyelesaian itu diharapkan juga hanya berdasarkan hukum dan tak patuh pada penghakiman massa.