Lihat ke Halaman Asli

Ghifa AsylaFatasya

Mahasiswa S1-Psikologi USK

Hubungan Konfirmitas dan Stress dengan Perilaku Merokok

Diperbarui: 28 Februari 2023   13:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Global Youth Tabacco Survey  tahun 2014 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara dengan remaja perokok terbanyak. Dari 3.075 siswa ditemukan 113 siswa merokok yang didapati olwh guru BK, setara dengan 3,6% siswa di tiga SMP yang berada Surabaya Utara. Sekolah dan kantin merupakan tempat para guru mendapati siswa merokok, guru juga menyatakan bahwa para remaja yang didapati merokok berasal dari keluarga yang perokok. Berada di sekitar perokok membuat para remaja untuk melakulan kegiatan prilaku merokok,  Hal ini dikarenakan para remaja percaya bahwa lingkungan disekitarnya mendukung dirinya untuk merokok. Pernyataan ini dinyatakan  oleh data demografi responden yang menunjukkan bahwa remaja awal yang merokok berasal dari keluarga yang merokok. Hal ini sangat erat kaitannya dengan konformitas.

Konformitas adalah proses  menyesuaikan diri dengan norma-norma di dalam kelompok (Ringgio, 2009). Contoh dari konformitas adalah seorang kpopers yang meyembunyikan kesukaanya pada kpopers disaat sedang keluarga besarnya yang tidak tau apa-apa tentang kpopers.  Stres adalah kondisi internal yang diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh, kondisi lingkungan dan social yang berpotensi membahayakan, tidak bisa dikendalikan, dan melewati batas kemampuan seseorang untuk melakukan coping (Lazarus dan Folkman, 1984).

Jika stres tidak segera ditangani, maka akan menyebabkan masalah yang lebih serius salah satunya adalah depresi.  Dinkes menyatakan bahwa sekitar satu juta lebih atau 20 persen dari 5,2 juta jiwa penduduk Aceh adalah perokok berat. Perokok aktif pada umur 15 tahun keatas memiliki prsentasi sekitar 35,4 persen (5,6 persen wanita dan 65,3 persen laki-laki) yang berarti diantara 3 lelaki, 2 diantaranya adalah perokok aktif (Riskesdas, 2007). Kebiasaan merokok ini bukan hanya terjadi pada remaja SMA atau SMU, melainkan sudah dilakukan oleh siswa SMP. Tentu saja kejadian ini merupakan sebuah keprihatinan yang harus kita terima. Tentu saja anak SMP yang perokok aktif menyebabkan kecaduan sehingga mempengaruhi fisik dan mental.

Menurut Menkes, penyebab jual beli rokok tinggi adalah mudahnya akses untuk membeli rokok serta didukung oleh harga yang murah. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor remaja terjerumus untuk merokok, padahal merokok di usia muda sama aja dengan menginvestasi penyakit lebih cepat. Tentu saja merokok mempunyai dampak bagi kesehatan seperti strok, masalah jantung, diabetes melitus, dan lain-lain, namun hirauan-hirauan tersebut tidak membuat perokok mau menghentikan aktivitasnya. 

Salah satu alasan para remaja merokok adalah fakor lingkungan. Hsasil dari survey yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 3 Desember 2018 kepada subjek remaja secara insidential dan terpisah, hasilnya adalah mereka mulai merokok pada sejak usia 13 tahun hingga 21 tahun (Luthfi, 2019).  Tentu saja banyak alasan mengapa para remaja bisa terjerumus untuk merokok, ada yang beralasan karena mengikuti teman-teman di sekolahnya, menghilangkan lelah, bahkan ada yang menjadikan aktivitas merokok sebagai kegiatan wajib yang dilakukan sehari-hari.

Remaja merokok dimanapun dan kapanpun, setelah makan, di warung kopi, di rumah, bahkan di sekolah sekalipun para remaja berani. Melaksanakan aktivitas tersebut. Tentu saja hal ini menjelaskan kepada kita bahwa merokok bukanlah aktivitas yang harus dilakukan secara tersembunyi lagi. Sebagian dari mereka mengaku bahwa merokok dapat menimbulkan perasaan lega, menemani mereka membuat tugas hingga larut malam, lebih percaya diri, dan bahagia. Ada 4 aspek perilaku merokok, yang pertama adalah fungsi merokok. Fungsi merokok dapat menunjukkan perasaan positif atau negatif si perokok. Yang kedua adalah tingkatan merokok, yaitu perokok ringan, perokok sedang, hingga perokok berat. Yang ketiga adalah waktu merokok, semakin sering ia habiskan waktunya dengan merokok semakin tinggi pula perilaku merokoknya (Nasution, 2007). 

Awal dari kegiatan merokok adalah rasa ingin tahu yang tinggi serta pengaruh dari teman sebayanya (Tulenan, Rompas, dan Ismanto, 2015). Teman sebaya kerap mengajak untuk mencoba-coba rokok. Tentu saja pengaruh teman sebaya sangat besar, dikarenakan remaja ingin menjadi lebih dikenal dan terpandang oleh teman-temannya. Hal ini dikarenakan remaja menerima tekanan yang kuat dari teman sebaya nya untuk menyesuaikan dengan kelompoknya (Satrock, 2007). Konformitas tekanan sebaya yang di alami remaja bisa menjadi positif atau negatif. Contoh konformitas positif adalah remaja ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama teman-temannya dan berpakaian seperti teman-temannya.

Contoh konformitas negatif adalah remaja terlibat aksi perilaku merokok, menggunkan bahasa yang tidak baik, mencoret-coret, dan membohongi guru serta orangtua. Tidak semua konformitas berpengaruh negatif, tetapi ada juga yang berpengaruh positif (Fardhanu dan Izati, 2013). Hubungan konformitas dengan perilaku merokok juga ditegaskan oleh Islami (2014). Tentu saja ini menyatakan bahwa terdapat hubungan antara konformitas dengan perilaku merokok remaja. Penelitian-penelitian yang menggunakan metode kuantitatif sejenis menyatakan bahwa terdapat hubungan antara dengan perilaku merokok remaja, Pratiwi juga menyatakan bahwa merokok sangat merugikan manusia dari segi manapun seperti melemahnya penciuman dan pengecapan ( Pratiwi, 2014). Konformitas kelompok dapat dengan mudah terlibat ciri-ciri yang khas ( Luthfi, 2019). Terdapat 3 kategori konformitas remaja yaitu ketaatan, kekompakan, serta kesepakatan ( Sears, 1991).

Penyebab lain yang mempengaruhi remaja merokok adalah stres (Bawuna, dkk., 2017). Stres adalah tekanan psikologi yang menyebabkan penyakit jiwa dan fisik (Tarwaka, 2014). Stres adalah tekanan emosional yang dialami seseorang yang tidak jelas gejalanya (Rice, 1999). Terdapat 4 indentifikasi gejala stres, yang pertama emosi, fisik, perilaku, dan kognitif. Alasan remaja merokok adalah stress dan konformitas dari temannya yang sebaya. Namun remaja diharapkan untuk memahami dampak-dampak buruk dari merokok sehingga bisa menciptakan masa depan yang lebih baik. Namun yang terjadi adalah para remaja tidak menghiraukan serta mengabaikan bahaya dari merokok, merokok dianggap sebagai bentuk dari kedewasaan. Merokok dapat disebabkan oleh konformitas kelompok remaja, seperti teman bermain dan teman sekolah. Tujuan dari artikel ini untuk melihat hubungan tingkat sikap konformitas  dengan perilaku merokok, hubungan stress dengan perilaku merokok.

Cara mencegah perilaku merokok pada remaja yang pertama adalah dengan selektif meilih kawan agar tidak terbawa ke lingkungan merokok, yang kedua adalah mencari aktivitas positif, seperti mengikuti organisasi yang dinaungi oleh kampus dan sekolah, untuk orangtua ada baiknya untuk memberi perhatian lebih terhadap anak-anak agar bisa mengontrol anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline