Lihat ke Halaman Asli

Ghevin Agung Nugraha

Social Activist

Laut China Selatan: Barang Panas yang Mengancam Kedaulatan Indonesia

Diperbarui: 30 Mei 2024   11:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Konflik di Laut China Selatan dapat dianalogikan sebagai barang panas untuk negara-negara berdaulat yang berada di kawasan ini, karena polemik yang terus berlarut ini akan mengganggu stabilitas kawasan di masa depan. Sengketa yang terjadi dimulai ketika China melakukan klaim secara sepihak yang memperluas wilayah lautnya hingga ke wilayah perairan Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, Kamboja, Brunei Darussalam, Singapura hingga Indonesia. Hampir seluruh negara ASEAN mendapatkan dampak dari klaim sepihak ini, hingga saat ini masih terjadi persoalan yang tumpang tindih ini dan perdebatan juga terus berlangsung.

Persoalannya bersumber dari Hukum Laut Internasional (UNCLOS), yang mengatur terkait ketentuan wilayah perairan suatu negara. Adanya ketentuan ini, sebagai upaya negara-negara untuk mengklaim wilayah perairan mereka untuk mempertahankan yurisdiksi kedaulatan secara unilateral atas klaim mereka. Lalu, sumber lain dari persoalan ini adanya klaim historis atas pendudukan wilayah ini oleh Tiongkok. Klaim ini berdasarkan penemuan dan pendudukan di wilayah ini, sehingga menurut Tiongkok (bersama Taiwan) wilayah ini milik mereka.

Perebutan wilayah ini terus berlangsung, karena negara-negara berlomba atas kekayaan sumber daya alam (SDA) yang ada di wilayah perairan Laut China Selatan. Kemudian, perairan ini adalah jalur perlintasan strategis yang menghubungkan banyak jalur perdagangan. Pertumbuhan ekonomi selama sepuluh tahun terakhir juga sangat bertumbuh pesat, sedangkan Eropa dan Amerika Serikat menurun hal ini menyebabkan AS ataupun Tiongkok berlomba-lomba menguasai kawasan ini. Indonesia pada akhirnya terbawa arus dalam konflik ini, dikarenakan klaim Tiongkok sepihak lewat "nine dash line" atau peta "U" yang memasukan perairan Natuna kedalam wilayah mereka.

Dalam hukum internasional, tindakan Tiongkok ini dilihat sebagai unilateral claim. Namun, Indonesia selalu melakukan persisten objection untuk memberikan sikap penolakan atas persoalan ini. Klaim Tiongkok yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan nelayan kapal mereka adalah normal activity di wilayah traditional fishing ground, dan hal ini dilakukan di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEE).

Di hukum laut traditional fishing ground tidak mengenal istilah ini, namun yang ada traditional fishing right yang dilakukan di wilayah perairan kepulauan bukan di ZEE ataupun laut territorial. Klaim absurd yang dilakukan Tiongkok "historical title" di Laut China Selatan, jelas tidak memiliki asas hukum yang sah. Untuk menghindari ketegangan pada keamanan regional, baik Tiongkok dan Indonesia sepakat tidak ada sengketa, dan yang dilakukan Indonesia adalah hanya mengusir nelayan asing yang masuk garis ZEE. Namun, melihat sikap Indonesia yang terkesan tidak tegas hal ini membuat saya sangat menyayangkan itu. Tidak bisa dipungkiri, kepentingan kedua negara itu cukup besar dan hubungan bilateral yang baik-baik saja maka dari itu Indonesia dan Tiongkok sama-sama melunak terkait insiden di perairan Natuna ini.

Praktik ilegal kapal-kapal asing tersebut ditangani Pemerintah Indonesia, meskipun sudah diusir dan diselesaikan tetap saja langkah yang dilakukan Indonesia menjadi sorotan. Sikap Menteri Luar Negeri juga terkesan biasa saja dan memang harusnya begitu, diplomasi yang dilakukan juga standar. Indonesia masih belum memberikan garis tegas pada persoalan ini, banyak kritikan juga yang dilayangkan politikus Indonesia. 

Salah satunya, dari mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang mana beliau tidak setuju dengan solusi untuk mengirimkan nelayan Pantura ke perairan ini. Menurutnya, persoalan ini yang harus dilakukan pemerintah adalah mengamankan dan menjaga perairan Natuna secara konsisten. Apabila hanya diusir potensi kapal tersebut akan kembali lagi cukup besar, patroli yang dilakukan harus menegakkan hukum silahkan lewat namun tidak mencuri ikan.

Perbedaan di zaman Bu Menteri Susi dengan Pak Menteri Edhy sangat jelas yang bisa saya lihat, meskipun klaim Pak Edhy beliau tidak anti-kebijakan penenggelaman kapal pencurian ikan di perairan Indonesia. Namun, yang dilakukan tidak seperti bu Susi yang menenggelamkan hingga 500-an kapal asing. 

Saya cukup setuju dengan statement Bu Susi bahwa harusnya Indonesia tegas dengan hal ini, karena sudah ada UU tentang Perikanan yang mengatur pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Tinggal bagaimana konsistensi Indonesia untuk menjaga keamanan dan stabilitas dengan tegas, haruskah diadakan bagaiamana standar operasional prosedur pengamanan di wilayah perairan Natuna dalam mengamankan wilayah berdaulat yang dimiliki Indonesia.

Jika kita tidak memberi ketegasan, eskalasi konflik akan terjadi dan hal ini bisa mengancam kedaulatan Indonesia itu sendiri. Pentingnya menguatkan prosedur keamanan, dan patroli yang konsisten di wilayah perairan ini, serta bagaimana menegakan hukum oleh Indonesia terhadap kapal-kapal asing yang mencuri ikan di wilayah kedaulatan Indonesia. 

Bagi orang muda, persoalan ini juga perlu dikritis bagaimana nantinya konflik ini akan menjadi barang panas kembali dan berdampak untuk kedaulatan Indonesia. Pentingnya untuk memahami secara holistik, dan menggunakan analisis kritik yang tajam bukan drama namun patroli yang rutin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline