Lihat ke Halaman Asli

Ghesti Saraswati

Alumni Fisip UI

Naturalisasi Artinya Warga Harus Tangkap Hujan, Pemprov DKI sedang Panik

Diperbarui: 5 Januari 2020   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

liputanindonesianews.com

Di tengah bencana banjir menerjang daerah Jakarta dengan cukup parah di mana tempat yang sepanjang sejarah tidak pernah terkena banjir, namun saat ini terkena banjir hingga air memasuki rumah warga, Pemprov DKI melalui Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Anies Baswedan justru meminta warga menangkap hujan sebagai solusi mengatasi banjir. Tangkap Hujan disebut sebagai naturalisasi yang dimaksud Anies selama ini.

Tentu saja, pernyataan Pemrpov DKI adalah potret kepanikan Pemprov DKI menghadapi bencana yang di saat bersamaan menghadapi citra Anies Baswedan yang rontok di media sosial, karena ramai-ramai warga menggaungkan #AniesGakBisaKerja #AniesMundur, dll. Konsep Naturalisasi Anies jelas kacau, lalu Kenapa Pemprov DKI terkesan Panik?

1. Kita harus tahu dulu apa yang dimaksud normalisasi dan naturalisasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) normalisasi adalah tindakan menormalkan kembali kepada keadaan atau hubungan yang biasa. Sementara naturalisasi adalah pemerolehan kewarganegaraan dan dalam biologi naturalisasi berarti gejala terjadinya penyesuaian tumbuhan yang berasal dari tempat lain dan menjadi anggota biasa masyarakat tumbuhan di tempat baru.

Dari segi bahasa normalisasi masih berkaitan dengan sungai, namun naturalisasi sama sekali tidak bisa dikaitkan dengan sungai, apalagi menangkap hujan dari sini saja Anies dan timnya sudah salah kaprah dan memberikan pendidikan bahasa yang buruk kepada rakyat.

2.  Anggota TGUPP Muslim Muin yang katanya pakar hidrodinamika ITB menyampaikan konsep naturalisasi dengan tangkap hujan bisa menyelamatkan Jakarta dari banjir. Ia menyebut, natural itu artinya air hujan turun ke hutan, diserap hutan, dan sisanya dibuang ke sungai. Dan karena di Jakarta tidak ada hutan, maka yang harus menangkap hujan menggantikan hutan adalah warga-warga.

Ya, warga diminta seperti di hutan menangkap hujan. Muin meminta warga menyiapkan taman-taman yang lebih rendah dari tinggi rumahnya agar bisa menangkap dan menyerap air hujan di depan rumah seperti di rumahnya Muin.

FAKTA : Anggota TGUPP Anies Muslim Muin ini nampaknya menganggap keadaan DKI Jakarta masih sama seperti masa tahun 1970-an, saat Jakarta banyak lahan luas dan rumah warga tersedia taman luas. Muin pun hanya mengambil contoh rumahnya yang mewah dan luas dibanding mayoritas rumah warga DKI yang hidup berdempetan dan sangat padat. Jangankan membuat taman, untuk tidur saja warga DKI harus berdesakan dengan perabot rumahnya yang sulit tertampung dengan keadaan perabot.

Mayoritas warga DKI hidup dalam keadaan yang sangat padat yang tak mungkin membuat taman di rumahnya. Data BPS menyebut  1 km wilayah di Jakarta dihuni 15.173 jiwa. Bahkan di Kec. Tambora dan banyak daerah di Jakarta satu petak rumah bisa dihuni 3-4 keluarga. Hal itu didukung laporan Oxford Economics berjudul Global Cities 2018 yang menyebut Jakarta akan menjadi Kota Terpadat di dunia pada 2035 dengan jumlah penduduk  38 juta jiwa. Jadi, gimana mau mikirin taman, kalau untuk tidur saja warga DKI sulit??? Meminta warga menangkap hujan jelas pernyataan panik dari Pemprov DKI.

Menangkap Hujan dalam rangka naturalisasi mengatasi banjir adalah konsep aneh yang tidak memiliki contoh keberhasilan di dunia. Jika ingin berhasil, seharusnya Pemprov DKI menjalankan konsep daylighting, proses mengembalikan fungsi alami sungai dan saluran, setelah ditutupi oleh pembangunan fisik kota yang tidak beraturan.

Kemudian saluran dan sungai tersebut dikumpulkan menyatu dengan infrastruktur utama penanganan banjir. Proses yang sebenarnya hampir sama dengan yang disebut normalisasi ini terbukti berhasil di beberapa negara, seperti Korea Selatan, Sungai Saw Mill di New York, Kanal Alam Fairnburn and Parahiku di Auckland,  dan di Zurich Swiss

Di Korsel, Wali Kota Seoul Lee Myu-bak (yang kini menjadi presiden) di Cheonggecheong berhasil menata sungai dengan menghilangkan bangunan, jalan dan infrastruktur fisik untuk membentuk saluran artifisial yang terhubung dengan sungai utama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline