Lihat ke Halaman Asli

Sikap Seorang Dokter

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1368548675786119502

[caption id="attachment_261219" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock)"][/caption] Ketika saya menulis postingan ini, saya menulis tepat diatas ranjang pasien yang dari tadi pagi saya follow up dan akhirnya meninggal 15 menit yang lalu. Kalian tahu? Profesi yang paling sering merasakan suasana kehilangan seseorang dan berada di ujung sakratul maut adalah dokter. Saya memang belum dokter, tapi saya koas yang mau tidak mau dilatih untuk berlaku secara subjektif empati dan objektif secara medis dalam menangani orang sakit. Sejak kemarin KU pasien sudah gawat. Masuk dengan assesment : Post stroke, hipoglikemi, dan DM tipe 2 non-obes. Keesokan harinya saya jaga pagi dan menemani dokter untuk melihat pasien ini. Saya datang dia sudah syok hipoglikemi. Nadinya tidak teraba, takipneu, takikardi, dan akral dingin. Akhirnya pasien di pindah ke Ruang Perawatan Khusus (RPK). Saya pasangkan keteternya dan follow up pasien sampai jam 3 sebelum akhirnya saya off-shift. Sepuluh menit setelah kembali ke pergantian, saya datang kembali ke RPK tempat dimana pasien ini dirawat. Saya datang dengan muka butek bantal karena habis one-hour-sleep dan tiba-tiba dokter jaga bilang, "Meninggalmi.."   Saya kaget. Keluarga pasien mulai berkerumun dan perlahan anak-anaknya mulai datang dan menangis. Ini bukan kematian pertama yang saya lihat, tapi cukup membuat saya agak takut saja. Tiba-tiba saja terbayang wajah datuk dan nenek saya jika mereka meninggal dan bagaimana posisi saya sebagai dokter yang merupakan keluarga pasien. Terbayang bagaimana caranya saya anak pertama yang akan memandikan jenazah ibu saya sendiri. Terbayang juga suasana yang pernah tante kepada saya bahwa saya yang harus urus transportasi jenazahnya dari Makassar ke Jakarta untuk dikubur. Ketakutan saya tentang hal-hal itu terlintas di pikiran. Saya akhirnya mengerti keadaan sebagai seorang dokter. Kadang mereka terlalu biasa melihat kematian. Bayi, anak, remaja, dewasa, dan tua itu menjadi pasti. Kematian menjadi kondisi mutlak bagi setiap manusia tanpa mengenal tempat dan waktu. Di sisi lain, kita bisa menjadi terlalu empati alias simpati sampai-sampai kita bisa merasakan apa yang keluarga pasien rasakan dan membayangkan keadaan pasien  terjadi pada kita. Kedua sikap itu diperlukan seorang dokter untuk mempertahankan subjektivitas dan obyektivitas profesi maupun dirinya sebagai manusia. Itulah sifat yang harus dimiliki seorang dokter. Karena itu yang membuat kita masih manusiawi walaupun berada dalam profesi yang riskan dalam mempertahanan profesionalitas. Semoga saya bisa menjadi dokter yang mempunyai sikap-sikap itu. Amin.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline