Lihat ke Halaman Asli

Ikut Arus atau Tenggelam: Sebuah Pandangan Terbatas, Pada Dunia Tanpa Batas

Diperbarui: 18 September 2016   00:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Manusia yg cerdas dalam era globalisasi ialah orang yang pandai & bijak bendung pengaruh buruk dari globalisasi.”

Susilo Bambang Yudhoyono

Berkaca pada kutipan diatas, dapatkah terpikir oleh kita berbagai pertanyaan tentang atraktor asing bernama “globalisasi” tersebut? Pernahkah terlintas dalam bayang ketika kita sebagai manusia menjadi asing kepada perubahan yang bergerak kian cepat dan bahkan melesat dan seolah meninggalkan mereka yang tak mampu beradaptasi dan tegak menghadapi zaman. Sebelum pelbagai pertanyaan mengisi ruang pikir kita yang sesak dipenuhi rutinitas monoton yang penat, sudah saatnya kita untuk mulai menemukan korelasi untuk menjawab tantangan dunia yang semakin beragam sehingga menarik kita yang sadar perlunya memijakkan kaki lebih dalam agar tak tergerus arus yang kian lesak. 

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa globalisasi adalah sebuah era baru ketika semua negara di dunia ini tidak lagi mengenal batasan ruang dan waktu. Semua negara tehubung dalam suatu kesatuan dan setiap orang di dunia ini bisa berinteraksi dengan mudah. Globalisasi bisa menjadi keuntungan dan kerugian tersendiri bagi suatu negara. Suatu negara bisa maju pesat karena mampu memanfaatkan era globalisasi ini untuk memperkuat kedudukannya di mata dunia. Sebaliknya, negara juga bisa hancur karena tidak mampu menghadapi tantangan baru di era globalisasi ini. 

Meski pada dasarnya, globalisasi memiliki makna mendunia, sebagai proses sosial, sejarah atau alamiah yang membawa seluruh bangsa dan negara di dunia terikat satu sama lain guna mewujudkan satu tatanan kehidupan baru namun menyingkirkan batas batas geografis ekonomi dan budaya masyarakat. Tak hanya sampai disitu, adanya perubahan konsep ruang dan waktu hingga saling tergantungnya pasar dan produksi ekonomi antar negara sehingga terjadi peningkatan interaksi kultural yang menciptakan timbulnya masalah-masalah baru yang merambat sektor perekonomian suatu negara secar signifikan yang bersifat destruktif. 

Siap tidak siap suatu negara harus turut berpartisipasi dalam persaingan global agar tidak semakin tergerus dan tertinggal di belakang. Jika kita tidak siap menerima tantangan ini, sudah pasti kita tidak akan pernah bisa menjadi bangsa yang maju yang tak hanya cerdas bangsanya namun juga bermoral karakternya meski globalisasi selama ini telah cukup banyak menciptakan sisi negatif yang terselubung dibalik stigma menjadi masyarakat dunia yang kini dianut hampir sebagian besar dari kita. 

Elemen sederhana saja mulai dari rutinitas bangun pagi dengan aplikasi canggih berbasis ioS yang diproduksi suatu pabrik di Cina hingga makan siang di gerai waralaba dari Swedia. Hal tersebut tidak dipungkiri telah dimulai abad 15 seiring pertumbuhan kapitalisme dan ekspansi. Ditandai dengan adanya perdagangan antar kaum penjajah yang kemudian berkembang dengan adanya perdagangan bebas. Globalisasi telah menciptakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan dalam dunia bisnis. Perekonomian dunia semakin terbuka dan mengarah pada suatu kesatuan global. Lalu lintas barang dan jasa telah melewati membuat batas-batas geografis dan teritorial suatu negara menjadi semakin kabur. Globalisasi dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi saling tergantung dalam jaringan internasional meliputi transportasi, distribusi, komunikasi, dan ekonomi yang melampaui garis batas teritorial negara. Kegiatan produksi dan konsumsi sudah menjadi suatu kegiatan bersama di muka bumi yang ditunjukkan dalam memproduksi barang, suatu negara memerlukan banyak sumber daya yang diperolehnya dari berbagai negara dengan pertimbangan ekonomis. 

Salah satu bentuk globaliasasi ekonomi adalah tumbuhnya bisnis dalam skala global. Perdagangan bebas sebagaimana perwujudan dari strategi bisnis yang cerdik dipandang dapat mematikan perusahaan domestik. Dewasa ini, perusahaan-perusahaan berskala multinasional yang memiliki jaringan bisnis global berkembang semakin banyak. Perusahaan-perusahaan seperti IBM, Coca Cola, Philip Morris, Sony, Toyota, General Motor, DHL, UPS, dan Caltex adalah beberapa perusahaan yang beroperasi di banyak negara. Setelah berhasil mengembangkan bisnis di negara asal, mereka kemudian melebarkan bisnisnya memasuki pasar global yang menjangkau hampirn setiap sudut di belahan bumi ini tanpa terkecuali. Banyaknya perusahaan lokal yang bangkrut akan memnyebabkan bertambahnya pengangguran dan menurunnya daya beli konsumen. Konsumen pun tidak akan mampu membeli barang-barng kebutuhannya. 

Pada titik ini globalisasi dipandang berdampak negatif tentu sebagai ancaman bagi perekonomian suatu negara. Perusahaan-perusahaan multinasional tersebut dianggap memiliki daya saing yang lebih kuat dibandingkan perusahaan nasional. Perusahaan multinasional pada umumnya memiliki keunggulan sumberdaya manusia, teknologi, dan modal yang sulit ditandingi perusahaan lokal. Dikhawatirkan ekspansi perusahaan multinasional akan dapat mematikan industri dalam negeri sebab hanya terfokus pada upaya penggerakan investor asing dan abai pada lini nasional yang seharusnya dikembangkan baik kuantitas maupun kualitas. Meski begitu tetap saja momok yang lagi-lagi dari globalisasi menimbulkan pro-kontra yang panjang diantara para pelaku ekonomi. 

Pendukung globalisasi yang aktif berpendapat bahwa dengan tidak adanya hambatan perdagangan internasional, akan membawa kemakmuran bagi perekonomian dunia. Negara-negara di dunia akan terspesialisasi untuk membuat produk yang paling ekonomis. Negara yang secara ekonomis tidak memungkinkan memproduksi suatu barang dengan murah, tidak perlu memproduksi barang tersebut. Pada akhirnya konsumen dunia yang akan diuntungkan karena memperoleh produk dengan harga yang paling murah. 

Para penantang atau penghambat globalisasi berpendapat bahwa globalisasi membawa implikasi timbulnya perdagangan bebas. Sebut saja kini tren pakaian atau fast fashion, kultur yang menggerakkan siklus pakaian yang bahkan dalam satu tahun bisa berganti-ganti musim hingga empat kali. Semua iklan atau mindset yang ditanamkan dari brand-brand besar fast fashion ini sama yakni membuat pembelinya merasa bahagia dan merasa telah diterima di masyarakat bila telah membeli sesuatu yang sesuai kesan kekinian dan anggapan akan kepercayaan serta harga diri yang lebih tinggi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline