"We did everything adults would do. What went wrong?"
Begitulah sepenggal kalimat dari novel Lord of The Flies karya William Golding yang ditulis pada tahun 1954. Bercerita mengenai sekelompok anak asal Inggris korban perang yang terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni di area Pasifik akibat jatuhnya pesawat. Tanpa orang dewasa, tanpa sosok autoritas, tanpa sosok pendamping, anak-anak tersebut akhirnya terpaksa harus berperan layaknya orang dewasa demi bertahan hidup. Novel ini sendiri terinspirasi dari penggambaran anak-anak terlantar yang menurut Golding tidak realistis, dalam novel The Coral Island: a Tale of the Pacific Ocean (1857) karya R. M. Ballantyne, yang mencakup tema pembudayaan agama Kristen dan pentingnya hirarki dan kepemimpinan.
Golding ingin menulis buku tentang anak-anak di sebuah pulau yang juga berperilaku seperti anak-anak. Oleh karena itu banyak sekali elemen dalam The Coral Island yang juga dimunculkan di Lord of The Flies, begitu pula dengan ketiga karakter utamanya, Ralph, Jack dan Piggy yang juga terinspirasi dari ketiga karakter utama dalam The Coral Island.
Namun apakah Lord of The Flies seluruhnya hanya fantasi atau novel mengenai anak-anak yang terdampar di pulau ataukah novel tersebut memiliki makna yang lebih mendalam? Sang penulis sendiri berkata "Saya belajar selama Perang Dunia II betapa brutalnya manusia terhadap satu sama lain. Bukan hanya orang Jepang, namun semua orang". Lord of The Flies tidak hanya berusaha untuk menceritakan mengenai bagaimana menurutnya cara anak-anak beradaptasi saat mereka terdampar, namun juga mengenai demokrasi dan kediktatoran.
Seluruh karakter anak pada novel akhirnya terbagi menjadi dua kubu. Kedua kubu memiliki tujuan yang sama, yaitu bertahan hidup. Namun cara yang digunakan mereka berdua sangatlah berbeda. Ralph sebagai pemimpin kubu pertama mengedepankan persamaan dan demokrasi. Dimana apabila seseorang menginginkan menyampaikan pendapat, mereka harus bergiliran berbicara, tidak adanya kekerasan dan berusaha bertahan hidup hingga bala bantuan datang. Sementara Jack sebagai pemimpin kubu kedua mengedepankan kediktatoran, dimana demi bertahan hidup di lingkungan yang kejam, kita juga harus berani dan tidak apa untuk menjadi kejam sedikit.
Kedua kubu yang dipimpin oleh Ralph dan Jack merepresentasi kubu demokrasi dan diktator. Kubu Ralph merepresentasi rasa hormat terhadap sesama, kesetaraan dan perlindungan terhadap yang lemah, sementara kubu Jack merepresentasi kekerasan, kekejaman dan memimpin melalui rasa takut. Seiring berjalannya cerita, kedua kubu tidak pernah sejalan dalam pemikiran dan pada akhirnya kubu Jack pun mendominasi. Dan sama seperti bagaimana jadinya apabila kediktatoran di dunia nyata dibiarkan berkuasa, penderitaan, kematian dan ketidakbahagiaan pun dirasakan oleh para warganya.
Selain menjadi representasi akan demokrasi dan kediktatoran, banyak yang berpendapat bahwa Lord of The Flies menjadi penggambaran mengenai perilaku manusia secara umum. Sebuah eksperimen pada tahun 2007 yang dilakukan oleh Channel 4 ,'Cutting Edge', memperlihatkan 10 anak laki-laki dan 10 anak perempuan yang ditinggal dalam rumah berbeda selama seminggu tanpa pengawasan orang dewasa. Rumah anak laki-laki penuh dengan keributan, sebagian anak tidak dapat makan dengan baik, pembentukan kubu dan kekacauan. Sementara di rumah anak perempuan, mereka berusaha membuat pembagian kerja, terlihat lebih bersih dan rapi. Namun tidak selamanya penuh dengan ketenangan, pada akhirnya beberapa anak perempuan juga saling bertengkar dan beberapa dari mereka memilih untuk meninggalkan acara.
Namun tidak selamanya teori Golding bahwa anak-anak akan selalu membuat kekacauan saat ditinggalkan tanpa pengawasan berlaku. Sebuah kisah nyata dari keenam anak laki-laki dari sekolah asrama di Nuku'alofa, ibu kota Tonga, yang terdampar di sebuah pulau selama 15 bulan setelah berusaha untuk pergi dari sekolah menggunakan kapal nelayan yang kemudian terjebak dalam badai pada tahun 1965 memperlihatkan hasil yang berbeda. Cerita ini kemudian dikenal sebagai 'Tongan Castaways'.