ral
"Melukis Tubuh Yang Tak Terlihat"Anoreksia Nervosa Dalam Sorotan Tekanan Sosial KultuDosen Pengampu: Prof. Dr. Syamsu Yusuf LN (0881) dan Nadia Aulia Nadhirah, M. Pd. (2991)
Banyak orang yang berusaha keras untuk tampil lebih menawan. Salah satunya adalah dengan berusaha memiliki berat tubuh yang ideal. Terutama dalam kalangan remaja. Masa remaja merupakan suatu masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja berlangsung dari usia 12-21 tahun, yang dibagi menjadi masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18 tahun), dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Pada masa transisi yang terjadi pada remaja menyebabkan remaja mengalami perubahan fisik, biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Perubahan fisik remaja dimulai dengan terjadinya pubertas dalam waktu yang berbeda beda. Terjadinya perubahan fisik pada masa remaja membuat remaja menaruh perhatian yang lebih pada penampilan fisik dibandingkan pada aspek lain dalam dirinya.
Perubahan fisik yang terjadi pada remaja tentu mempengaruhi dampak psikologis terhadap tubuh yang dimilikinya. Hal ini akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya remaja dalam mencapai tugas perkembangan yang ada, yaitu mampu menerima kondisi tubuh yang dimilikinya. Perubahan tubuh yang cepat dan perhatian pada penampilan fisik serta kematangan dalam masa pubertas pada masa remaja akan sangat memengaruhi perkembangan body image.
Ditemukan hasil penelitian yang dilakukan di Surabaya dengan membandingkan body image pada remaja putri gemuk dan tidak gemuk. Penelitian ini meneliti remaja usia 13-15 tahun di SMPK Santa Agnes Surabaya dan diperoleh hasil adanya resiko terjadinya body image negatif pada remaja overweight empat kali lebih besar dibandingkan remaja yang tidak overweight. Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan diketahui bahwa sebesar 61,5% remaja putri memiliki body image yang negatif, 66,7% mengalami ketidakpuasan terhadap tubuh, dan sebanyak 64% melakukan tindakan diet (Wati & Sumarmi, 2017).
Seorang remaja yang terbangun dengan stigma idealisasi tubuh yang baik yaitu dengan memiliki tubuh yang ramping maka dapat secara langsung memiliki ketidakpuasan tubuh terhadap dirinya sendiri dengan membandingkannya dengan tubuh orang lain membuat mereka melakukan diet yang sangat ekstrime kadang ada beberapa orang kerap melihat dirinya ke kaca dan terus menganggap jika bobot tubuhnya masih berlebihan, padahal kenyataannya tidak.
Ternyata, hal tersebut termasuk dalam suatu gangguan makan yang dapat terjadi pada setiap orang. Gangguan makan inilah yang kerap terjadi pada remaja, karena pada usia tersebut mereka lebih cenderung memperhatikan citra diri.
Gangguan makan adalah kelainan kompleks yang menyerang orang-orang dari segala usia. Gangguan ini mungkin muncul saat seseorang memasuki usia remaja atau dewasa muda. Seseorang dengan kondisi ini mungkin mengalami komplikasi serius dari gangguan makan tersebut. Meskipun gangguan makan merupakan masalah yang serius, remaja sering kali menyembunyikan masalahnya sehingga membuat diagnosis menjadi lebih sulit. Selain itu, sulit untuk mengidentifikasinya pada masa remaja karena kebanyakan orang dengan kelainan makan tampaknya memiliki berat badan normal.
Salah satu jenis gangguan makan yang kerap terjadi pada remaja adalah anorexia nervosa. Anorexia nervosa adalah gangguan pola makan dengan cara membuat dirinya merasa tetap lapar (self-starvation). Biasanya terjadi pada remaja wanita yang tengan menginjak bangku SMU (sekolah menengah umum). Adapun tujuan mereka membuat dirinya lapar adalah agar mereka memiliki penampilan fisik yang ramping dan menarik perhatian lawan jenisnya.
Anoreksia nervosa yaitu sebuah gangguan makan yang ditandai dengan penolakan untuk mempertahankan berat badan yang sehat dan rasa takut yang berlebihan terhadap peningkatan berat badan akibat pencitraan diri yang menyimpang. Pencitraan diri pada penderita anoreksia dipengaruhi oleh bias kognitif (pola penyimpangan dalam menilai suatu situasi) dan memengaruhi cara seseorang dalam berpikir serta mengevaluasi tubuh dan makanannya.
Diketahui jumlah pasien dengan gangguan makan telah meningkat secara global sejak 50 tahun yang lalu. Di Amerika Serikat, dilaporkan satu hingga dua juta wanita memenuhi kriteria diagnostik untuk BN, dan 500,000 wanita memenuhi kriteria diagnostik untuk AN (Academy for Eating Disorder, 2016). Peningkatan ini berkaitan dengan kesadaran ekstrim tentang berat badan dilakukan tentang gangguan makan di Indonesia. Buhrich (2021) melaporkan bahwa 0.05% sampel pasien psikitrik di Malaysia telah terdiagnosis mengalami anoreksia nervosa.
Di Indonesia, 12-22% wanita berusia 15-29 tahun menderita defisiensi anoreksia nervosa di beberapa kawasan (Atmarita, 2021). Pasalnya, anoreksia adalah kondisi yang juga ditandai dengan rasa takut yang berlebihan akan kelebihan berat badan. Merasa takut kelebihan berat badan, tentu adalah hal yang biasa bagi sejumlah orang, namun kondisi anoreksia adalah kasus yang berbeda. Anoreksia kondisi di mana seseorang memiliki persepsi yang menyimpang tentang berat badan yang ideal. Akibat persepsi tersebut, seseorang dengan gangguan anoreksia sering melakukan segala upaya untuk tetap kurus. Bahkan upaya yang dia lakukan bisa sangat ekstrem hingga mengganggu kesehatan Anoreksia nervosa memiliki beberapa kriteria diagnostic yaitu
1. Membatasi makan sehingga menurunkan berat badan menjadi sangat rendah secara signifikan dibawah normal ditunjukan dengan skor BMI yang kurang dari 18,5 untuk orang dewasa
2. Ketakutan yang intens terhadap kenaikan berat badan, sangat takut untuk menjadi gemuk meskipun badan aktualnya sudah melebihi batas normal.
3.Memiliki gangguan budy image, diukur dengan eating disorder inventory.
Penting untuk dicatat bahwa yang bisa menegakan diagnosis hanya mental health professional. Kenapa kita tidak boleh mendiagnosis diri sendiri? Karena yang terjadi bisa mistreatment contohnya Individu tersebut ternyata tidak mengalami anoreksia nervosa berdasarkan kriteria kriteria tadi melainkan mengalami gangguan lain seperti gangguan pencernaan atau mungkin depresi dan penganan terhadap gangguan tersebut berbeda beda tidak bisa digeneralisasikan.
Perlu untuk mewaspadai anoreksia karena memiliki beberapa dampak yang cukup berbahaya seperti memiliki risiko kematian diatas 10%, berpotensi selalu merasa cemas dan merasa tidak diterima oleh masyarakat, lingkungannya karena tidak memenuhi standar kecantikan kemudian terdapat dampak dampak fisik seperti menipis dan rontoknya rambut secara tiba tiba, kuku dan tulang menjadi rapuh, tumbuhnya rambut halus di sekujur tubuhnya, masalah organ percenaan contohnya lambung, kemudian menjadi mudah lelah, tubuh melemah secara keseluruhan, melemahnya denyut jantung dan bahkan beberapa kasus dapat memicu gagal jantung, ketidakseimbangan elektrolit tubuh.
Lalu factor apa saja yang dapat memicu dan menyebabkan seseorang menjadi memiliki anoreksia nervosa? Ada beragam factor yang terjadi seperti factor genetika yang berinteraksi dengan lingkungan, factor neurobiologist dimana memiliki level dopamine dan serotonin yang rendah dalam otak seseorang, factor kognitif yaitu memiliki ketakutan akan kegemukan berimage yang membuat penurunan berat badan menjadi penguat bagi tingkah lakunya, lalu ada factor sosial kultural merupakan factor yang sering terjadi bila diabaikan sehingga terjadi pemicu dampak negative.
Faktor sosio-kultural ini merupakan Tekanan yang berlebihan pada seseorang untuk mencapai standart kurus yang tidak realistis. Terutama dalam hal media sosial. Berikut penjelasan mengenai faktor-faktor sosial kultural yang dapat menyebabkan perkembangan anoreksia nervosa:
1. Standar Kecantikan yang Didefinisikan oleh Masyarakat: Di banyak budaya, terutama di dunia Barat, standar kecantikan sering kali dihubungkan dengan tubuh yang sangat kurus. Media massa, iklan, dan industri mode sering mempromosikan citra tubuh yang kurus sebagai ideal kecantikan. Hal ini menciptakan tekanan pada individu untuk mencapai dan mempertahankan ukuran tubuh yang sesuai dengan standar ini.
2. Body-Shaming: Budaya body-shaming, yaitu mempermalukan atau mengkritik seseorang karena berat badannya, dapat sangat merusak citra tubuh individu. Komentar negatif dari teman, keluarga, atau rekan kerja tentang berat badan atau penampilan fisik seseorang dapat memicu perasaan tidak puas terhadap tubuh, yang pada gilirannya dapat memicu perilaku diet yang tidak sehat.
3. Pengaruh Media: Media massa memiliki peran yang kuat dalam membentuk persepsi tentang tubuh dan kecantikan. Gambar-gambar model dan selebriti dengan tubuh yang kurus sering ditampilkan di majalah, televisi, dan media sosial. Hal ini dapat menggiring individu untuk menganggap bahwa hanya dengan memiliki tubuh yang kurus mereka dapat merasa diterima atau sukses.
4. Kelompok Teman dan Lingkungan Sosial: Individu sering terpengaruh oleh kelompok teman dan lingkungan sosial mereka. Jika teman-teman atau rekan sebaya memiliki obsesi dengan penurunan berat badan atau diet ekstrem, individu mungkin merasa terdorong untuk ikut serta dalam perilaku serupa.
Semua faktor ini dapat berinteraksi dan menyebabkan individu merasa tekanan untuk mencapai ukuran tubuh yang sesuai dengan standar budaya atau masyarakat, terlepas dari konsekuensi kesehatan yang serius. Oleh karena itu, penting untuk memahami dan mengatasi faktor-faktor sosial kultural ini untuk mencegah dan mengobati anoreksia nervosa, bisa dimulai dari lingkungan keluarga ataupun sekolah.
Dengan latar belakang sebagai guru BK perlu untuk bisa mengatasi secara preventif dalam permasalahan anoreksia nervosa pada kalangan remaja dengan bertujuan untuk mengurangi kejadian anoreksia nervosa, meningkatkan kesadaran dan mempromosikan hubungan yang sehat.
• Meningkatkan penerimaan tubuh dan literasi membaca Para ahli menekankan pentingnya mengedukasi penerimaan terhadap tubuh dan literasi media sebagai tindakan pencegahan terhadap anoreksia nervosa. Mendorong penerimaan terhadap bentuk dan ukuran tubuh yang berbeda dan menantang standar kecantikan yang tidak realistis dapat membantu melawan efek berbahaya dari media dan tekanan sosial.
• Mengedukasi hubungan yang sehat dengan makanan dengan mengembangkan hubungan yang sehat dengan makanan sangat penting untuk mencegah anoreksia nervosa, menekankan pentingnya mendorong pola makan yang seimbang, kebiasaan makan yang intuitif, dan pendekatan yang hati-hati terhadap nutrisi. Mengedukasi individu tentang nilai gizi makanan dan mengajari mereka untuk mendengarkan sinyal rasa lapar dan kenyang dari tubuh mereka dapat mendorong kebiasaan makan yang sehat dan mengurangi risiko kebiasaan makan yang tidak teratur.
• Memperkuat dukungan kesehatan mental. Mengatasi masalah kesehatan mental dan memberikan intervensi dini adalah kunci untuk mencegah anoreksia nervosa. Menerapkan program dukungan kesehatan mental di sekolah, perguruan tinggi, dan fasilitas kesehatan dapat membantu mengidentifikasi dan mengintervensi individu yang mungkin berisiko
• Menciptakan lingkungan yang mendukung. Menciptakan lingkungan yang mendukung yang mendorong penerimaan fisik, harga diri, dan kesejahteraan psikologis penting dalam mencegah anoreksia nervosa. Sekolah, komunitas dan keluarga memainkan peran penting dalam menciptakan lingkungan seperti itu dengan mempromosikan citra tubuh yang positif, mengurangi stigma dan menciptakan budaya empati dan dukungan.
Mencegah anoreksia nervosa memerlukan pendekatan multifaset yang mencakup peningkatan penerimaan terhadap tubuh, literasi media yang lebih baik, mendorong hubungan yang sehat dengan makanan, mendukung kesehatan mental, serta menciptakan lingkungan yang mendukung. Menerapkan strategi pencegahan yang didukung untuk seorang guru BK ini dapat mengurangi kejadian anoreksia nervosa dan meningkatkan hubungan yang sehat terhadap citra tubuh. Sangat penting bagi individu, keluarga, dan sekolah untuk bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental, ketahanan, dan citra diri yang positif, sehingga meletakkan dasar bagi masa depan bagi generasi yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, M. &. (2018). Remaja, media sosial & teknologi. Retrieved from https://www.pewresearch.org/internet/2018/05/31/teens-social-media-technology-2018/
Atmarita. (2021). Nutrition Problems in Indonesia.
Buhrich. (2021). Frequency of presentation of anorexia nervosa in Malaysia. Australian and New Zealand Journal of Psychiatry , 153-155.
Disorder, A. f. (2016). Prevalence of Eating Disorders. Austria: Academy for Eating Disorder. Retrieved from http://www.aedweb.org/eating_disord ers/prevalence.cfm
Wati, D. K. (2017). Citra tubuh pada remaja perempuan gemuk dan tidak gemuk: Studi cross sectional. Amerta Nutrition , 398-405.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H