Kota selalu menarik mata kita. Gilang-gemilang yang ditawarkan oleh kota memantik siapapun berduyun-duyun berkunjung ke kota. Untuk mendekap kenikmatan dari sebuah kota, acap kali kita juga perlu menilik bagaimana kota menyuluh sebuah perjuangan untuk hidup di sela-sela hiruk pikuknya.
Senja di Jakarta novel anggitan Mochtar Lubis yang sudah terbit dalam beberapa bahasa (Melayu, Inggris dan Indonesia) menarik untuk kita baca kembali. Mulanya Novel itu terbit dalam bahasa Inggris di tahun 1963 dengan judul Twilight in Jakarta, kemudian bahasa Melayu 1964 dan baru diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1970.
Novel itu cukup lengkap menilik kota dari beberapa sudut pandang. Keberadaan kota muncul pelbagai keunggulan di dalamnya. Mulai dari pusat perbelanjaan nan lengkap, fasilitas kota yang siapapun dapat mengakses untuk menunjang kompetensinya dan pelbagai wahana yang membikin mata kita cukup terbelalak.
Dalam novel gubahan Mochtar Lubis, kita diajak untuk berpikir menerawang kota lebih dalam. Perjuangan kelas, sistem politik keluarga Husein limbara, dan dialog menyoal ideologi dan bangsa. Mafhum, nama nan mewangi bernama Mochtar Lubis, tak dapat diragukan lagi hasil karyanya itu.
"Masih ramai di pasar Glodok. Ribuan lampu listrik berkelip seperti kunang-kungan menari dalam malam. Lampu-lampu mobil bergerak, bola-bola mata kuning. Wangi makanan merangkak keluar dari restoran, berat di udara, serasa bisa dipegang, dan dimasukan ke dalam mulut, dikunyah . . ." (Hlm.31)
Sepenggah kisah bagaimana kehidupan petinggi partai dan rekan-rekannya cukup mewah mengisi perutnya yang keroncongan. Mereka menyantap makanan yang harganya maha bukan main. Disamping mewah dan mahalnya makanan yang mereka santap, tersirat sebuah kisah bagaimana tata cara manusia pinggirian hidup. Adalah Saimun si tukang rombeng yang perutnya selalu kelaparan.
"Saimun mengencangkan ikat pinggangnya. Pertunya sudah mulai lapar. Belum ada isinya apa-apa. Dan hari masih pagi. Hujan gerimis yang turun sejah dinihari membuat perut tambah lapar. Saimun menyalahkan hujan.. . ." (Hlm. 7)
Saimun dan Itam seorang tukang rongsok itu, kudu bertarung dengan rasa lapar. Penghasilan dari mengepul sampah itu tak cukup untuk meredam lapar yang terus silih berganti. Namun, Saimun dan Itam memiliki tekad yang cukup kuat. Ia menjalan hidup dari kaki tangannya sendiri, meski menumpuk hutang di warung makan yang sering ia singgahi.
Pembaca diajak untuk merefleksikan konsep pola manusia di relung-relung kota. Novel gubahan Mochtar Lubis secara tak langsung memberikan sebuah gambaran penting secara sosiologi keterkaitan antar manusia ketika berisnggungan dengan realitas. Syahdan, gerak-gerik antara Husein Limbara dengan Itam atau Saimun terlihat cukup berbeda.
Husein Limbara dan rekan-rekannya dalam memilih makanan, mereka dapat dengan mudah mencecep masakan restoran. Beda halnya dengan Saimun dan Itam, mereka bermodal cukup untuk mengganjal perutnya guna memenuhi kebutuhan perutnya itu.