Lihat ke Halaman Asli

M. Ghaniey Al Rasyid

Pemuda yang mencoba untuk menggiati kepenulisan

Bentara Rakyat, Kompas, hingga Kompasiana

Diperbarui: 4 Juli 2023   11:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Koran Tempo dan Buku Diktat Penulis

Pagi hari nan dingin, ditemani secangkir kopi, aku membaca selembar Koran bernama Kompas. Sontak, jari-jemariku segera menjamah, membolak-balik halaman demi halaman. Ingatanku mulai bergeliat. Mulai dari P.K Ojong, Jakoeb Oetama hingga Lilik Oetama, ingatanku menelusuri keberadaan Kompas, yang hari ini mafhum media itu mewarnai carut marut, silang-sengkarut bangsa ini.

Kompas yang hari ini kita kenal sebagai koran nasional yang memiliki pamor itu memiliki sejarah menarik. Suatu ketika, tinggal seorang Katolik beriman bernama P.K Ojong yang senantiasa menyebarkan kebaikan. Dengan kacamata bulat dan penampilan yang rapi, ia senang sekali untuk membagikan ilmu-ilmu yang telah ia dapatkan.

Maklum, P.K Ojong seorang pembelajar ulung. Ia memiliki cita-cita untuk dapat belajar di Universitas Indonesia Fakultas Hukum. Menahan dulu karena tak mau hasil kekayaan orang tuanya itu, cawe-cawe dalam hidup Ojong. Hollandsch Chineesche Kweekschool (HCK) alhasil jadi tempat Ojong untuk menyelami Ilmu Pengetahuan, untuk mematangkan untuk menjadi seorang guru.

Pengakuan Oei Tjoe Tat, kawan karib Ojong, "Ojong sebagai mahasiswa, tidak bisa dikatakn cemerlang, tetapi ia sangat tekan da terlalu serius sebagai orang muda." Mafhum, ketekunan yang ia lakoni, membuahkan hasil untuk saling menukar kewarasan dan kebermanfaat, termasuk berdirinya Bentara Rakyat hingga Kompas.

Kompas dan Soekarno

Sudah hampir 58 tahun, kompas menamani khalayak pembaca di negeri ini. Kompas terus berbenah untuk menyesuaikan diri dengan realitas. Walaupun menyesuaikan, kompas tak luput mempejuangkan komitmennya dalam menyampaikan guratan tinta nan segar bagi pembaca di negeri ini.

Khoe Woen Sioe dan Injo Beng Goat ialah nama yang taka sing dalam derap langkah jurnalisme di Indonesia. Mereka ialah pendiri majalah Star Weekly, yang menjadi tempat menempa P.K Ojong menyelami lebih dalam kalam Jurnalistik. Tepat, 2 Januri 1946, majalah itu lahir di haribaan bumi pertiwi. Dilanjut, satu tahun selanjutnya pada 1947, majalah Keng Po, turut meramaikan media cetak di Indonesia.

P.K Ojong banyak belajar dari Khoe Woen Sioe dan Injo. Mereka semua wartawan pandai dan berani. Ojong mencerap ilmu jurnalitik dan kepribadian yang dimiliki oleh Sioe dan Injo. Tak salah, untuk belajar dengan orang lain, selagi bisa dan mampu menularkan kembali kepada kawan ataupun kerabat.

Di ruang itu, P.K Ojong banyak menempa diri jadi seorang penulis ulung. Ia banyak berkontrubusi dalam menuliskan sejarah Perang Eropa, Cerita bersambung bertopik kriminal hingga tajuk rencana. Kepiawannya yang terus diasah, membawa Ojong terus bergerak disamping nasib kehidupan yang terus mencabik-cabik Ojong, namun ia tetap tegar, tekun seperti sedia kala.

Setelah singgungan pelik antara Ir. Soekarno dan Moh. Hatta terjadi, nampaknya tidak hanya selesai dalam dunia ide saja. Konsep demokrasi terpimpin yang dikutuk Ir. Soekarno, melalang nyasak segala atribut yang tak selaras dengan ide-ide reovlusi ala Orde Lama waktu itu.

Syahdan, majalah mingguan Keng Po dan Star Weekly terkena imbasnya. Mereka dibredel dengan alasan yang kurang begitu relevan. Ojong, tetap tenang menghadapi peristiwa yang terjadi. Ia mencari jalan bijak agar tetap menyuguhkan media cetak yang menjadi piranti check and recheck dari penguasa untuk rakyat Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline