Lihat ke Halaman Asli

M. Ghaniey Al Rasyid

Pemuda yang mencoba untuk menggiati kepenulisan

Pandemi dan Tekanan

Diperbarui: 7 Juli 2021   19:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: cnnindonesia.com

Secangkir kopi menemani pagi lumayan dingin hingga memasuki sela-sela sarung yang dikenakan Albert. Agenda bersua di kampus terkendala setelah negara memberi regulasi untuk bisa menutup perkuliahan dikampusnya dengan alasan keselamatan. Hampir satu tahun Albert tak merasakan aroma debu kampus dan merasakan sakit perut ketika presentasi mata kuliah.

Kesehariannya dihabiskan menatap layar monitor sebagai pengganti perkuliahan langsung. Bergiga-giga kuota dipakainya agar tak merah raport perkuliahan di akhir semester. Sensasi menjadi mahasiswa tak pernah dirasakan Albert kembali, malah ia merasakan seperti pengangguran tak punya arah jalan.

Pukulan keras terlintas, ketika kondisi kampung di pagi hari begitu padat dengan karya dan kerja. Albert melihat dengan penuh renungan kepada dirinya sendiri, yang melakukan kesibukan hanya tugas kuliah secara daring. Bingung, bosan, gusar dan malu ketika tetangganya menanyainya. "Masih dirumah mas?" Senyum dan raut bibir nampak dimuka tetangga Albert, seketika membuat urat malunya naik dengan sendirinya.

Alasan karena pandemi dan hanya diam dirumah, dirasa Albert tak mau cari resiko. Mau bagaimana lagi, patuh kepada negara dirasa cukup untuk menekan angka lonjakan pandemi yang terus naik. Tetapi, sesekali melihat mukanya yang terus keriput pertanda tak akan selamanya Albert muda hidup didunia yang sementara ini.

Suara kicauan burung didepan rumah Albert meramaikan pagi yang cerah. Saling kicau antara burung satu dengan lainnya terdengar begitu damai pagi itu. Dilihat satu persatu kendaraan penuh manusia bersiap mengais rejeki, dengan mulut yang tertutup agar tak dipukul petugas pandemi. Albert hanya termenung menikmati secangkir kopi dan akan berdiri beberapa kali meregangkan bokongnya yang akan kram.

Semua manusia penuh harapan dengan bekal keahlihan berangkat di tempat-tempat untuk mengekspresikan keahlihannya itu. Keahliahan dirasa penting untuk bekal menantang kehidupan yang terus mengalami perubahan, seperti yang disampaikan Prie Gs, "Hidup ini keras, maka gebuklah!." Kata-kata itu mengelilingi pikiran Albert yang hanya berdiam diri di rumah, dengan menanti dosen memberi tugas berbuku-buku.

Kehidupan di kampus tak seberat dengan kehidupan sebenarnya ketika sudah merampungkan tetek bengek kehidupan di kampus. Ilmu yang didapatkan harus bisa dilaksanakan dengan kondisi hari ini. Jangan sampai mengampu lama di kampus berakhir tragis menjadi pengangguran. Kebimbangan Albert dari semester ke semester hanya berkutat seperti itu. Apakah bisa Albert seorang sarjana menanatang kehidupan di hari esok?

Albert, anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya sudah lama tak kembali ke rumah. Sudah lama tak berbincang langsung seperti waktu kecil yang tak punya beban pikiran. Makan dan minum sudah tersedia di meja makan. Semakin hari, naluri kedewasaan terbentuk memikirkan jenjang karir, pasangan dan target hidup yang harus dijalani.

Gerobak rongsok dilihatnya dengan poster presiden terlama di negernya itu dipampang disampaing kiri gerobak. "Piye kabare penak jamanku to?" seketika terbaca dan dirasa senyuman khas presiden itu. Pakaian compang-camping dan rambut gondrong mengais rongsok-rongsok yang bisa ditimbang dengan harap dapat ganti rupiah untuk sesuap nasi.

Salah satu, keunikan Albert yaitu segala pengamatan dalam penglihatannya selalu dipikiran dan dirasakan dalam dirinya. Seperti seseorang dengan intuisi filsafat untuk mencapai kebijaksanaan diri. Ia merasakan bagaimana hidupnya hari ini, lumayan cukup disyukuri dibanding pengais rongsok yang setiap hari harus mencium bau busuk sebagai untuk mencari sesuap nasi.

Apakah bersyukur saja sudah cukup? Bagaimana kalau dengan bersyukur malah menjerat kita pada zona nyaman? Selalu terlintas pada pikiran Albert untuk menggoyang kemapanan dan kenyamanan dalam pikir. Agar tuhan tak marah kepada Albert diberi akal untuk hidupnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline