Ketika aku duduk di kelas dua SD, teman-temanku selalu bilang kalau aku anak yang sangat manja. Mulai dari memakai baju, menyisir rambut, hingga memakai sepatu pun semuanya ibu yang melakukan. Bahkan, ketika berangkat sekolah, meski jaraknya dekat, aku tidak mau berjalan. Bagaimana menurut kamu? apa aku ini anak yang manja? Eh, setiap hari aku meminta mama membantuku melakukan itu semua loh, meskipun ibu pernah menyuruhku untuk melakukan itu sendiri, tapi aku ngambek tidak mau berangkat. Akhirnya, ibu menuruti keinginanku hingga aku menjelang kelas tiga. Tahu tidak? aku tidak melakukan sendiri karena bagiku itu terlalu sulit. Alasan itu biasanya terlontar untuk ibu sih, tapi ibu setuju-setuju saja tuh, hehe..
Nah, menginjak kelas tiga SD, aku mempunyai teman yang bernama Ema Antara usia dan tinggi badan tidak berbeda jauh denganku sih, apa lagi kecantikanku. Kata ibu, aku yang lebih cantik sedikit dari Ema loh, hehe. Eh, tau tidak? setiap sore Ema berkeliling menjual gorengan mamanya loh. Pertama sih aku sungkan membeli gorengannya, tetapi setelah ibuku mencoba dan membelinya, aku mencobanya juga, dan akhirnya aku menjadi ketagihan. Habis rasanya enak sih. Nah, sejak saat itu, aku berteman dengannya.
Waktu terus berjalan. Aku semakin menyadari, berteman dengannya bukanlah hal yang mudah. Tetangga selalu membeda-bedakan antara aku dengan Ema. Uhh, sialnya, aku selalu dibilang anak manja. Tak hanya itu, Ema yang sudah mengetahui kebiasaanku, menjadi sok tahu, jika aku harus melakukan semuanya sendiri. Seperti yang saya sebutkan diatas. Beberapa hari kemudian, aku merasa bosan dengan nasihat dari Ema. Mentang-mentang ia sudah bisa melakukannya sendiri, kataku dalam hati saat itu.
Esok harinya, menjelang berangkat sekolah, aku tak menemukan seragamku di atas kasur. Tidak seperti biasa yang dilakukan ibu. Ah, sepertinya ibu menyuruhku untuk melakukannya sendiri. Tidak mau!, kataku dalam hati. Lalu dengan penuh amarah, aku segera menuju kamar ibu. Aku marah sekali sama ibu. Tapi.. ternyata ibu masih tidur, tidak seperti biasanya. Lalu aku memanggil ibu dan membangunkannya. Aku kaget bukan kepalang ketika tanganku merasakan aliran panas dari badan ibu!. Akupun panik setengah mati. Aku tak bisa melakukan apapun. Saat itu terlintas dalam pikiranku untuk meminta bantuan Ema, tetapi aku malu. Aku sudah membencinya, tidak mungkin aku harus meminta tolong padanya. Tak lama kemudian ibu terbangun dan memintaku untuk mengambilkan segelas air putih.
"Ibu lagi tidak enak badan,", kata ibu lirih.
Karena sedang sakit, aku terpaksa melakukannya sendiri. Mulai dari memakai seragam, menyisir rambut, hingga mengikat tali sepatu. Karena takut terlambat, aku melakukannya terburu-buru, tanpa memikirkan apapun. Yah, meskipun sebenarnya baru pertama kali melakukannya sendiri sih. Sambil berlari sekuat tenaga, aku berangkat sekolah. Dan tak lama kemudian aku sampai pada pintu kelas. Oopss... ternyata aku terlambat!. Di sana, bu Gusti sedang mengabsen anak-anak.
"Selamat pagi bu,", kataku setengah malu sambil masuk ke kelas.
Entah aku tak mendengar balasan dari bu Gusti, yang kudengar saat itu adalah suara gemuruh dari teman-teman. Yah, mereka terlihat puas mentertawakanku. Bahkan, beberapa dari mereka sampai meremas perut mereka. Aku benar-benar tak berdaya saat itu. Selanjutnya, kulihat bu Gusti sedikit merasa kesal dengan keterlambatanku. Tetapi dari senyumnya sudah kubaca, jika ia memaafkanku.
"Silahkan duduk,", kata Bu Gusti kemudian. Tetapi, mendadak kakiku terasa kaku, saat beberapa dari teman-teman meneriakiku begini:
"Wah, rambutnya model sapu ijuk tuh?". Lalu disusul dengan teriakan lainnya. Mendengar teriakan mereka, aku lalu meraba rambutku sendiri, dan ternyata mereka benar. Aku tak menyisir rambut dengan sempurna. Aku maluuu sekaliii. Lalu dengan segera aku menundukkan kepala. Di bawah, kulihat tali sepatu kananku terlepas, dan yang lainnya masih mengikat meski tak terlihat rapi. Dari sana, kemudian aku menelusuri tiap bagian seragamku. Di sana, kutemukan bajuku yang tak masuk sempurna ke dalam rok bawahku. Aku benar-benar malu. Saat itu pula, air mataku benar-benar tak bisa terbendungkan lagi.
"Dea, kenapa?", tanya bu Gusti pura-pura tidak tahu.