Pinjaman online (pinjol) menjadi inovasi usaha sekaligus alternatif baru di era digital. Sebetulnya, pinjol sudah hadir sejak 2016 melalui perusahaan financial technology yang bergerak dalam sistem pembayaran (payment), pendanaan (funding) seperti pinjam-meminjam, perbankan (digital banking), pasar modal (capital market), asuransi (insurance), dan berbagai keuangan digital lainnya.
Namun, pinjol kian meroket saat ekonomi merosot akibat pandemi covid-19. Pinjol bak dewa penolong yang mampu mengatasi segala persoalan berkaitan dengan ekonomi (finansial). Jika sebelum ada pinjol ataupun sebelum menjamurnya, opsi masyarakat meminjam uang tentu saja melalui bank, koperasi simpan pinjam, bahkan rentenir. Melalui berbagai tahap verifikasi barulah uang bisa digenggam. Pesatnya teknologi merubah cara pinjaman konvensional tersebut. Pinjol menawarkan kemudahan, kecepatan, dan efisiensi.
Hampir seluruh kalangan menjadi target konsumennya meskipun didominasi oleh kalangan milenial yang membutuhkan dana cepat untuk transaksi jangka pendek. Pola ini terjadi akibat tidak adanya persiapan yang baik secara finansial di mana gaya hidup semakin tinggi tetapi pendapatan tetap bahkan terjun bebas pada kurun waktu tertentu. Untuk menutupi kebutuhan yang sebetulnya tidak perlu-perlu amat kecuali persoalan perut, mereka mengambil jalan pintas tanpa perlu tahu bahkan memperhatikan keamanan, kehati-hatian, dan pertimbangan matang.
Persoalan baru muncul ketika jumlah pinjaman yang harus dikembalikan berlipat di luar dugaan peminjam. Saat tenggang waktu habis sementara kemampuan membayar belum ter sanggup maka persoalan berikutnya hadir. Bentuknya bisa beragam, beda penyedia jasa beda cara. Jika pinjol itu bersifat legal yaitu terdaftar dan mendapat izin OJK sesuai yang pada Peraturan OJK Nomor 77 /POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi tentu saja ada standar operasional prosedur saat proses penagihan.
Namun bagaimana jika pinjol yang dipilih adalah ilegal? Di sisi lain, pinjol ini tentu saja tidak mau merugi. Bisa saja jalan yang dipilih adalah teror yang mengancam psikologis peminjamnya. Lemahnya literasi digital adalah pintu masuk yang dimanfaatkan secara jeli oleh pemilik dana pinjam tanpa memandang lagi status pendidikan formal targetnya. Toh nyatanya status pendidikan tidak menjamin seseorang mampu mencerna dan menelaah informasi dengan "cukup baik" apalagi "baik".
Korban tumbang di mana-mana akibat keteledorannya sendiri. Lantas bagaimana menghindari sisi buruk pinjol? jawaban yang paling mudah tentu saja jangan berhutang. Namun kata tak semudah kenyataannya, namanya kebutuhan mendesak datangnya tentu saja diluar perkiraan. Dari persoalan pinjol dan tingginya antusias masyarakat membuktikan bahwa di era digital, pinjamanan yang cepat, mudah, dan mungkin bunga sedikit tinggi tak lagi jadi masalah. Maka lagi-lagi, edukasi menjadi garda depan yang diperlukan dan dibutuhkan untuk menyadarkan nasabah bahwa di balik kemudahan terdapat risiko yang jarang dipertimbangkan sebelumnya.
Melek digital bukan sekedar pemanfaatan seluruh komponen pendukung secara bebas tanpa memahami dampaknya. Kelemahan dan kemalasan membaca masih menjadi aspek kerentanan sosial. Mari kita bersama-sama mengevaluasi peristiwa ini menjadi pembelajaran bersama. Edukasi dan transparansi informasi terkait risiko dan alternatif sumber pembiayaan yang aman perlu digencarkan terus menerus di tengah semakin berkembangnya generasi tanpa ribet dan instan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H