Lihat ke Halaman Asli

GHAIDA SALMA

Mahasiswi

Merebaknya Dual Earner Family, Bagaimana Dampaknya bagi Kehidupan Remaja?

Diperbarui: 3 Mei 2023   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Tuntutan ekonomi, kebutuhan sehari-hari, dan biaya pendidikan anak yang semakin tinggi menyebabkan sebagian besar pasangan suami istri memilih untuk bekerja dan menanggung peran ganda. Fenomena tersebut dikenal dengan istilah dual earner family. Kondisi tersebut berbeda dengan traditional earner yaitu hanya suami yang bekerja untuk mencari nafkah (Harpell 1985). Pada dual earner family, istri turut berpartisipasi dengan menjalankan peran ganda untuk bekerja dan mengurus rumah tangga. Hal tersebut diperjelas dengan hasil survei angkatan kerja nasional (Sakernas) yang dilakukan oleh BPS pada Agustus 2022, bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) wanita mencapai angka yang cukup tinggi yaitu sebanyak 53,41 persen. 

Fenomena dual earner family yang semakin merebak di kalangan masyarakat dapat memengaruhi kehidupan keluarga dan hubungan antar anggota keluarga.  Dampak positif yang diperoleh dual earner family diantaranya memiliki kemudahan untuk meningkatkan pemasukan serta menstabilkan kondisi keuangan keluarga. Namun, di sisi lain, fenomena dual earner family dapat menimbulkan konflik kerja-keluarga. Menurut Damayanti (2009), konflik kerja-keluarga pada dual earner family terjadi karena adanya ketidakseimbangan peran suami istri dalam mengatur urusan keluarga dan urusan pekerjaan. Konflik tersebut dapat terjadi antara suami dan istri, ibu dan anak, ayah dan anak, maupun konflik antar anak.

Salah satu bentuk konflik yang sering terjadi pada dual earner family adalah kurangnya kualitas dan kuantitas waktu bersama anak-anak (Zick et al. 2001). Hal tersebut terjadi karena kesibukan orang tua yang disebabkan oleh tuntutan pekerjaan tanpa memperdulikan kebutuhan dan keinginan anak. Kondisi tersebut akan berdampak pada kehidupan anak terutama remaja yang membutuhkan peran kedua orang tua dalam masa perkembangannya. Berdasarkan tahap perkembangan keluarga oleh Duvall (1988), keluarga dengan anak remaja berada pada tahap ke lima. Pada tahap tersebut, orang tua bertugas untuk menyesuaikan interaksi dalam memberikan kebebasan dengan batasan yang aman kepada anak. 

Remaja berada pada tahap transisi antara tahap anak-anak dan tahap dewasa awal. Dalam proses perkembangannya, remaja dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, dan waktu. Pengasuhan dan pendidikan yang dilakukan di lingkungan keluarga memiliki peran penting dalam proses perkembangan anak agar ia mampu melewati tahap kehidupan dengan baik. Selain itu, menurut teori perkembangan psikososial Erikson,  tahapan remaja memasuki fase identity (identitas) vs inferiority (kebingungan). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa, pada tahap tersebut identitas remaja serta komunikasi dengan orang tua berada pada kategori yang rendah. Peran orang tua dalam memberikan perhatian dan bimbingan yang dikemas dalam bentuk komunikasi yang berkualitas turut berperan  dalam pembentukan identitas diri remaja. Sehingga, remaja dapat mengenal dan memperkenalkan identitas dirinya dengan baik.  

Berdasarkan hasil penelitian, kondisi demografi juga turut memengaruhi konflik kerja-keluarga. Dual earner family yang tinggal di perkotaan cenderung memiliki konflik komunikasi dengan remaja. Sementara itu, dual earner family yang tinggal di pedesaan jarang memiliki konflik dengan remaja.  Berdasarkan hasil analisis kasus yang dilansir dari timesindonesia.co.id, remaja dengan dual earner family di perkotaan sering merasa kesepian dan kurang mendapat perhatian dari orang tua. Kondisi tersebut terjadi karena hilangnya kesempatan remaja untuk mengobrol dan menghabiskan waktu bersama orang tua. Remaja membutuhkan peran orang tua untuk mendengarkan berbagai cerita kehidupan yang dialaminya sehari-hari. Selain itu, remaja juga membutuhkan kritik dan saran untuk membantu memecahkan masalah yang dialaminya. 

Kesepian yang dialami remaja dapat memengaruhi kondisi psikologis. Remaja akan sering dihantui pikiran negatif bahkan sering muncul keinginan untuk melakukan tindakan negatif. Menurut Sunarti et al. (2021), kondisi tersebut diklasifikasikan dalam konflik kerja yang memengaruhi keluarga. Hal tersebut terjadi karena kesibukan orang tua dalam bekerja yang telah mengganggu keharmonisan dan mengurangi intensitas komunikasi dengan anak. Hilangnya peran orang tua sebagai teman bercerita bagi anak telah memengaruhi kelekatan antara keduanya. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Pramesti (2021), bahwa remaja dengan ibu bekerja memiliki tingkat kepercayaan yang rendah pada kelekatan ibu. Kondisi tersebut juga memengaruhi tingkat kesejahteraan subjektif remaja yang sangat ditentukan oleh dukungan sosial dan interaksi antara ibu dan anak (Wijayanti et al. 2020). 

Kesejahteraan subjektif juga dipengaruhi oleh tingkat kepuasan terhadap kualitas fisik, kondisi emosi, harga diri, fungsi keluarga, teman, dan sekolah. Pada analisis kasus tersebut, remaja tersebut belum mencapai kesejahteraan subjektif karena tidak optimalnya fungsi cinta kasih dalam keluarga. Kesibukan orang tua dengan pekerjaannya menyebabkan remaja mengalami krisis berupa kehilangan perhatian dan kasih sayang dari orang tua. Berdasarkan hasil penelitian Wijayanti et al. (2020), interaksi ibu-anak memiliki pengaruh yang positif terhadap kesejahteraan subjektif remaja. Hal tersebut menginterpretasikan bahwa remaja akan merasakan kebahagiaan jika kualitas interaksi dengan ibu semakin baik. 

Berdasarkan hasil analisis, kasus yang dialami oleh remaja di perkotaan tidak ditemukan pada remaja di pedesaan. Hal tersebut terjadi karena remaja yang dengan orang tua bekerja di pedesaan tidak merasakan kesepian ketika ditinggal bekerja oleh orang tuanya. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, meskipun mempunyai kewajiban ganda dalam mengurus pekerjaan dan keluarga, orang tua yang bekerja di pedesaan cenderung memiliki kemampuan untuk mengelola waktu dan sumber daya lain dalam urusan keluarga dan pekerjaan. Selain itu,orang tua yang bekerja di pedesaan juga mampu menjalin hubungan dan komunikasi yang baik dengan anaknya. 

Untuk membentuk komunikasi yang baik dengan anak, orang tua di pedesaan selalu berusaha meluangkan waktu untuk mengobrol atau menghabiskan waktu bersama dengan mengunjungi tempat wisata setiap akhir pekan. Dalam proses manajemen sumberdaya keluarga, dual earner family di pedesaan cenderung mengadopsi cara pengambilan keputusan konsensual yang melibatkan diskusi terbuka dan persetujuan dari setiap anggota keluarga. Selain itu, mereka juga menerapkan gaya pengambilan keputusan syncratic yang melibatkan peran suami dan istri dalam proses pengambilan keputusan. Selain proses pengambilan keputusan yang melibatkan seluruh anggota keluarga, dual earner family di pedesaan juga melakukan proses pemecahan masalah yang dilakukan dengan cara berdiskusi secara terbuka dengan anggota keluarga. Proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang dilakukan oleh dual earner family di pedesaan dapat digunakan sebagai media interaksi dan komunikasi antar anggota keluarga. Dengan demikian, anak tidak merasa kesepian karena memiliki kesempatan untuk bertukar cerita, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan,  serta terlibat dalam proses pemecahan masalah yang terjadi pada keluarga. 

Dengan demikian, konflik kerja-keluarga yang terjadi pada dual earner family berdampak pada rendahnya keharmonisan dan hubungan antara orang tua dan  remaja. Dalam upaya menyeimbangkan urusan keluarga dan urusan pekerjaan, dual earner family perlu meluangkan waktu untuk melakukan aktivitas bersama sehingga dapat mengurangi tingkat stres dan risiko konflik kerja-keluarga. Keseimbangan yang telah terbentuk dapat mempermudah dual earner family dalam mencapai kesejahteraan keluarga. 

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline