Lihat ke Halaman Asli

Gusty Fahik

Ayah dan pekerja. Menulis untuk tetap melangkah.

Puisi | Kematian yang Lain

Diperbarui: 31 Januari 2019   00:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gambar diambil dan diolah dari pixabay.com

Jenazahmu tiba, sudah malam
lampu-lampu kota redup menahan haru
air mata mama-mama, gugur bersama pucuk-pucuk sepe

Tiga tahun lalu ia berangkat, kami tak tahu ke mana
ia masih gadis belia, kala itu
perginya adalah tanda tanya yang tak tentu mendapat jawab
hingga hari ini, 
ia kembali tanpa berbagi cerita
tentang lelahnya di tanah orang

Lelaki pemamah sirih pinang itu berkisah
tentang kau yang kini menjadi jenazah
gerimis turun tipis-tipis, samar kulihat bening menetes
di keriput pipi lelaki tua itu

Kematiannya ialah kematian yang lain,
dengan nama yang lain, umur yang lain
alamat yang lain, di negeri lain
tapi aku tetap mengenalinya,
sebab hanya dia, anak gadis semata wayangku

Kisahnya berakhir dengan isak tertahan di ujung lidahnya

Aku hanya bisa bergumam, dalam hati yang terbakar amarah
sebab di negeri ini, orang tak bosan saling memangsa
manusia-manusia ditukar lembar-lembar rupiah
sedang yang berdasi sibuk memoles senyum sambil tak bosan menebar janji, 
meski terus diruwat nyala seribu lilin

Ah, sahabat yang malang
di negeri  yang tak lagi berlimpah cendana ini
aku heran janji-janji manis masih mengalir
bersama datangnya peti-peti mati.

Kupang, 19
Gusty Fahik
(Komunitas Penulis Kompasiana Kupang NTT-KampungNTT)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline