Lihat ke Halaman Asli

Gusty Fahik

Ayah dan pekerja. Menulis untuk tetap melangkah.

Puisi | Manusia-manusia Patung

Diperbarui: 27 Januari 2019   22:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: diolah dari pexels.com

/1/
Beberapa malam terakhir
entah oleh sebab apa ia terbangun, melihat
sosok-sosok yang telah menjadi patung 
saling kunjung

oh, itu bukan patung-patung 
mereka manusia 
atau yang sekali waktu 
pernah menjadi manusia

seperti dirinya?
Ia bertanya entah tentang siapa

/2/
Ia telah membeli kaca mata untuk berjaga-jaga
bila terbangun lagi malam ini
ia akan mampu membedakan patung-patung
dari manusia,
dari dirinya

tapi ia tak melihat (si)apa-(si)apa
hanya suara-suara berkisah tentang kemarau  panjang
yang membakar ladang-ladang jagung
seperti kabar kematian yang dekat meski tetap asing

/3/
Aku bosan menjadi patung, ia mendengar sebuah suara
Oh, aku sudah lelah menjadi manusia,

Lalu kisah-kisah mengalir lewat sepasang mulut yang
bertukar suara.

Malam basah, rupanya di luar sedang gerimis
dia takut pada gelap, juga lelap
dibiarkan telinganya terbuka,
menangkap suara-suara

/4/
Jadi apakah patung ini harus dirobohkan juga?
Ya. Kasihan. Ini patung paling indah di kota kering ini.
Ia mendengar mesin-mesin bekerja

/5/
Tubuhnya rubuh, hancur berkeping-keping
Oh, aku hanya sebuah patung!
Ia berseru, entah kepada (si)apa.

Kupang, 17-19
Gusty Fahik -Komunitas Penulis Kompasiana Kupang-NTT (Kampung NTT)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline