Jika dunia politik tanah air dibaratkan sebagai dunia sepakbola, maka BTP layak diibaratkan seperti Cristiano Ronaldo. Dia punya prinsip sendiri dan tidak mau terikat selamanya pada satu klub.
Dari Manchester United yang melambungkan namaya, Ronaldo beralih ke Real Madrid. Di klub ibukota Spanyol itu, Ronaldo menaruh namanya pada tempat khusus dalam sejarah sepakbola. Ia tidak berhenti di situ. Setelah tiga tahun beruntun memenangi Liga Champion Eropa, Ronaldo angkat kaki dari kota Madrid. Kali ini ia jatuh ke pangkuan Si Nyonya Tua, Juventus di Italia.
Mengenai dinamika dan gerak berpindah dalam karier semacam itu, silakan melihat perjalanan BTP. Ia pernah berpolitik sebagai kader Partai Indonesia Baru (PIB). Kemudian ia beralih memakai baju Golkar.
Dari Golkar, BTP melanjutkan karier politiknya lewat "kostum" Gerindra. Langkahnya tidak berhenti juga, sebab ia kemudian angkat kaki dari Gerindra dan memilih mejadi manusia tanpa partai politik.
Itu baru soal gerak pindah. Bila kita ambil lagi aspek lain, misalnya totalitas dalam menjalankan peran dan tanggung jawab, maka saya tidak ragu untuk melihat kesamaan BTP dengan CR7. Mungkin mereka memang manusia dinamis yang tidak bisa bertahan di satu "rumah" dalam jangka waktu tidak terbatas seperti Messi di Barcelona atau Jokowi di PDIP. Namun, soal totalitas dalam pengabdian, kedua sosok itu tidak perlu diragukan lagi.
Deretan prestasi pun kontriversi yang diciptakan CR7 bersama klub-klub besar yang pernah ia bela hemat saya bisa dicari tahu sendiri. Demikian pula BTP. Ia punya prestasi di tempat (jabatan) mana ia pernah berkiprah sembari menorehkan juga kontroversi di sana.
Dengan catatan terkait gerak pindah dan totalitas itu, tidak heran bahwa publik kemudian bertanya, mau ke mana dan apa yang akan dilakukan BTP setelah meninggalkan penjara? Sebuah pertanyaan yang coba disimpulkan Kompasiana menjadi topik pilihan untuk dibahas para kompasianers.
Saya yakin, bagi orang seperti BTP, penjara hanyalah tempat menepi sesaat. Penjara bukan tempat untuk berhenti dan meratapi nasib. Penjara adalah medan belajar. Di sana ia bisa mencapai sebuah penemuan baru. Bukankah banyak tokoh besar, justru pernah ditempa di balik kokohnya tembok penjara? Sukarno, Mandela, atau Xanana hanyalah sedikit contoh. BTP mungkin telah belajar dengan baik di penjara. Hasilnya ketika keluar ia mengumumkan sesuatu yang saya anggap sebagai upaya melupakan masa lalunya. Ia ingin dipanggil BTP, bukan Ahok. Ahok adalah masa lalu, lupakanlah.
Ia mengganti nama yang melekat dalam memori publik dengan nama baru yang menandakan awal yang baru. Ia seperti dilahirkan lagi untuk sebuah karya yang baru. Dan publik dibuat penasaran untuk segera tahu apa yang akan dilakukan sosok ini.
Alih-alih mencoba menjawab pertanyaan ini, saya malah membalikkan arah pertanyaan ini kepada publik: mau ke mana kita selanjutnya?
Bagi saya pertanyaan ini penting diajukan dan penting pula dijawab, persis ketika kita berada di simpang waktu yang menentukan kepemimpinan negara ini ke depan. Inilah waktu menentukan pilihan politik yang akan menentukan ke mana negara ini akan melaju.