Ini tahun politik. Segala sesuatu seolah penuh intrik. Karena itu orang jadi mudah saling curiga. Orang juga jadi mudah bertukar posisi dan berganti peran. Yang dulu disukai, kini dibenci. Yang dulu dimusuhi, kini malah dirangkul dan diajak berkawan. Yang dulu kelihatan jujur sekarang dianggap pembohong. Semua serba tidak pasti di tengah gelombang keraguan dan kecurigaan.
Secara kasat mata, kita bisa melihat itu dalam beberapa peristiwa politik hari-hari ini. Sebagai misal ialah kisruh pembebasan bersyarat Abu Bakar Ba'asyir (ABB). Sebagian orang menganggap ini peristiwa hukum. Bahwa presiden setelah melalui beberapa pertimbangan, utamanya pertimbangan kemanusiaan, memutuskan akan membebaskan ABB.
Namun, lebih banyak orang menganggap peristiwa ini adalah peristiwa politik. Sebabnya jelas, ini tahun politik, dan presiden Jokowi sedang kembali mencalonkan diri dalam pemilihan presiden 2019.
Tidak heran, ketika rencana pembebasan ABB mencuat ke publik, jagat maya bergolak. Warganet ramai-ramai mempertanyakan pilihan yang diambil presiden. Belakangan, beberapa menteri angkat bicara soal pembebasan bersyarat itu.
Menkumham, Yasonna Laoly bahkan mengatakan ABB harusnya bisa bebas pada akhir Desember tahun lalu, bila syarat pembebasan dirinya telah seluruhnya dipenuhi. ABB belum memenuhi salah satu syarat yang berlaku mutlak, tidak bisa ditawar, yakni pernyataan setia pada NKRI dan Pancasila.
Alhasil, ABB urung dibebaskan, tetapi Jokowi telah terlanjur sukses dijadikan sasaran tembak. Ketika kasus ABB berkembang menjadi bola liar yang bergulir tak tentu arah, aneka kritik bahkan yang beraroma hujatan justru tertuju hanya ke satu arah: Jokowi.
Saya kemudian membuat pengandaian. Katakanlah Jokowi benar-benar menggunakan pertimbangan kemanusiaan untuk menentukan nasib ABB, lantas mengapa kisruh ini timbul? Di mana letak kesalahan yang membuat Jokowi menjadi sasaran tembak? Saya kira letaknya ada di persoalan waktu.
Selain karena ini tahun politik seperti saya kemukakan pada awal tulisan ini, kasus ini terjadi persis setelah debat pertama capres 2019. Pertimbangan apapun yang dipakai Jokowi akan mudah digelincirkan menjadi semata-mata pertimbangan politik.
Kita ingat salah satu topik debat adalah soal penegakan hukum. Di sana Jokowi sendiri mengesankan diri sebagai (calon) pemimpin yang tidak akan mengintervensi hukum. Itu sebabnya, apa yang terjadi kemudian dianggap bertentangan dengan kesan yang ingin dibangun Jokowi. Pencitraan dirinya sebagai pemimpin yang tahu memosisikan diri dalam kasus-kasus hukum langsung runtuh dengan munculnya kisruh pembebasan ABB.
Para ahli atau orang-orang yang lebih paham hukum barangkali bisa membedah kasus ini dan melihatnya secara jeli dari berbagai aspek ilmu hukum. Namun, kesan yang timbul di mata masyarakat, apalagi masyarakat kebanyakan yang tidak terlalu paham soal hukum seperti saya, ya seperti yang saya tulis ini.
Pemilihan waktu untuk memunculkan persoalan ini ke hadapan publik terlampau berisiko untuk Jokowi. Bukan saja risiko merosotnya kepercayaan pada kepemimpinan Jokowi, melainkan juga pada pertimbangan untuk menjatuhkan pilihan politik ketika hari pemilihan kian menjelang.