Lihat ke Halaman Asli

Gusty Fahik

Ayah dan pekerja. Menulis untuk tetap melangkah.

Tentang Kejahatan dan Rasa Bersalah

Diperbarui: 20 Januari 2019   14:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fyodor Dostoevsky/christianity.com

Apa yang akan Anda perbuat bila suatu waktu Anda melakukan sebuah kejahatan besar, katakanlah pembunuhan, tanpa diketahui siapapun, sementara bukti dan tuntutan justru mengarah ke orang lain? Apakah Anda akan mengakui kejahatan itu agar orang lain yang bukan pelaku lolos dari hukuman, atau membiarkan orang lain menanggung hukuman atas tindakan Anda?

Jawaban atas pertanyaan ini kelihatan mudah sekali. Anda mungkin tinggal bilang "saya akan mengakui kejahatan saya dan menyerahkan diri kepada pihak berwajib untuk menerima hukuman setimpal." Namun, hal yang kelihatan mudah itu, justru menjadi rumit ketika muncul dalam kenyataan. Butuh lebih dari sekadar niat baik dan ketulusan hati untuk bisa menanggung upah dari sebuah kejahatan, apalagi ketika situasi segalanya justru mengarah ke pihak lain.

Tentang pergulatan dalam situasi yang demikian itu ada baiknya kita membaca penulis Rusia, Fyodor Dostoevsky. Lewat karyanya Crime and Punishment (Kejahatan dan Hukuman), Dostoevsky menghadirkan pergulatan seorang pelaku kejahatan, seorang pemuda miskin bernama Rodion Romanovich Raskolnikov. Berbulan-bulan, si miskin ini didera siksaan batin setelah membunuh seorang perempuan lintah darat, Alyona Ivanovna. Bukan hanya Alyona, Raskolnikov juga menghabisi Lizaveta, adik Alyona, yang tanpa sengaja muncul di tempat kejadian.

Mulanya tuntutan hukuman atas kejahatan itu tidak mengarah kepada Raskolnikov. Bukti-bukti  justru mengarahkan tuduhan juga ancaman hukuman kepada dua orang tukang cat yang berada di tempat kejadian perkara ketika Raskolnikov menjalankan aksinya. Bukti-bukti itu sedemikan kuat, sehingga sekalipun Raskolnikov mengaku bahwa dialah pelakunya, tidak akan ada orang yang percaya.

Raskolnikov memenangkan pertarungan dengan dirinya sendiri. Ia tidak hanya mengakui perbuatannya, tetapi ia memperkuat pengakuan itu dengan menceritakan ulang detail kejadian sehingga akhirnya menjadi terang bahwa dialah pelaku sebenarnya.

Keberanian Raskolnikov bukan sesuatu yang turun dari langit. Ia mencapainya setelah melewati pergulatan yang panjang dan melelahkan. Barangkali ia seorang yang "lemah" karena akhirnya harus taat pada tuntutan-tuntutan moral dan situasi yang tidak menguntungkannya. Kelemahan yang menghantarkannya pada pengakuan akan kejahatan yang ia perbuat.

Namun, kelemahan itulah yang justru memberi nilai kepada kemanusiaan. Bahwa jauh di dalam lubuk hatinya manusia punya kesadaran akan kebaikan dan kejahatan. Penyangkalan atas kebaikan sebetulnya menyiksa batin manusia. Menyeret manusia ke dalam situasi batin yang tidak menentu, sebagaimana dialami Raskolnikov.

Bila kita bandingkan keputusan akhir yang diambil Raskolnikov dengan apa yang terjadi saat ini, saya kira kita akan menemukan sesuatu yang paradoksal. Banyak orang justru tidak bersedia memikul tanggung jawab atas kesalahannya sendiri malah tidak segan-segan mencari pihak lain untuk dijadikan tertuduh bahkan terhukum. Untuk kejahatan yang terang benderang pun orang masih mau dan masih mampu berkelit, apalagi untuk kejahatan yang tidak diketahui siapapun.

Dalam kalimat lain, pengalaman Raskolnikov menunjukkan bahwa membuktikan diri bersalah kadang lebih sulit daripada membuktikan diri benar. Mungkin itu sebabnya, banyak orang lebih memilih membenar-benarkan diri daripada menunjukkan diri sebagai yang bersalah. Bukankah orang masih bisa tersenyum tanpa rasa bersalah ke arah kamera, sekalipun tangannya telah diborgol atau rompi oranye telah mekelat di tubuhnya?

Seperti itulah.....




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline