Lihat ke Halaman Asli

Gusty Fahik

Ayah dan pekerja. Menulis untuk tetap melangkah.

Amien Rais dan Tanda dari Langit

Diperbarui: 17 Januari 2019   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: tribunnews.com

Amien Rais telah melihat tanda. Bukan sembarang tanda. Amien melihat tanda dari langit. Sebuah isyarat yang menurut Amien tidak boleh diremehkan. Bagi Amien, tanda yang ia lihat adalah petunjuk bagaimana masa depan negara ini. Karena itu kepada para juru warta di Solo (13/01), Amien dengan blak-blakan bertutur bahwa tanda yang ia lihat mengisyaratkan pergantian presiden pada 2019 ini.

Ketika para politisi sibuk berdebat di televisi, dan ahli survey seperti Denny JA atau para peneliti LIPI sibuk membuat analisis berbasis data, Amien Rais cukup melihat tanda dari langit untuk mengetahui apa yang bakal terjadi di tahun politik ini.

Tidak ada yang bertanya bagaimana rupa tanda yang telah muncul dalam penglihatan Amien Rais. Mungkin para juru warta berpikir penglihatan seperti yang dialami Amien Rais adalah sebuah pengalaman spiritual yang sangat personal. Sesuatu yang tidak mungkin dialami sembarang orang. Hanya orang-orang dengan tingkatan spiritual dan laku rohani tertentu saja yang bisa mengalaminya.

Namun, justru di sinilah letak persoalannya. Bagaimana pengalaman yang sangat personal itu bisa dipakai sebagai ukuran untuk menentukan masa depan sebuah negara? Dalam kata lain, bagaimana pengalaman itu menjadi patokan bagi urusan-urusan politik yang menyangkut nasib banyak orang?

Penuturan Amien Rais tentang tanda dari langit ini setidaknya menyeret kita kembali pada zaman kerajaan-kerajaan. Di sana kekuasaan selalu dilihat sebagai sesuatu yang terberi dari atas, bukan sesuatu yang dikonstruksi dari bawah.

Ada campur tangan ilahi, dalam hal ini para dewa, yang memungkinkan seseorang bisa berkuasa atau tidak. Karena itu, tidak semua orang bisa memiliki kekuasaan, apalagi kekuasaan politik. Hanya orang-orang atau klan-klan tertentu saja yang layak memegang tampuk kekuasaan.

Hal ini kemudian membentuk sifat kekuasaan sebagai sesuatu yang bisa diwariskan. Artinya, seorang raja akan menurunkan kekuasaannya kepada anak laki-laki yang lahir dari benihnya sendiri (kecuali dalam kasus tertentu di mana raja tidak punya anak laki-laki). Sifat kekuasaan yang demikian lalu dilanggengkan oleh struktur masyarakat yang terdiri atas kelas-kelas sosial dengan pembagian peran masing-masing.

Meski demikian, bukan berarti orang dari lingkungan di luar istana tidak bisa menjadi penguasa. Ada kasus tertentu di mana orang yang bukan dari lingkaran istana bisa merebut kekuasaan. Bukti paling gamblang dapat kita lihat dari sejarah munculnya Ken Arok. Bagaimana bisa, Ken Arok yang bukan dari lingkaran istana itu bisa menjadi penguasa setelah menyingkirkan Tunggul Ametung?

Ken Arok sadar ia tidak mungkin diterima sebagai penguasa sebab latar belakang keluarganya yang termasuk golongan paling bawah dalam struktur masyarakat zaman itu. Ia membutuhkan sesuatu yang bisa membuatnya diterima rakyat dan layak menjadi penguasa.

Kita tahu, dalam banyak catatan sejarah Ken Arok kemudian dinarasikan sebagai titisan dewata. Ada sosok ilahi dalam silsilah keluarganya. Darah dewata yang mengalir dalam nadinya menjadikan dia bukan seperti manusia pada umumnya.

Ia lahir dan ditakdirkan oleh kehendak langit untuk menjadi penguasa yang tidak saja menggulingkan Tunggul Ametung, melainkan juga Kertajaya, raja Kediri dan kelak memengaruhi jalannya sejarah raja-raja di Tanah Jawa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline