Keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif merupakan salah satu aspek penting dalam mencapai keadilan dan kesetaraan gender dalam politik. Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan kesetaraan, Indonesia mengakui pentingnya partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan politik.
Namun, pada kenyataannya, keterwakilanperempuan di lembaga perlamen masih jauh dari harapan. Sebelum adanya upaya konkret untuk meningkatkan keterwakilan perempuan, proporsi perempuan di parlemen Indonesia sangat rendah. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan gender dalam representasi politik.
Sejak pemilu 2009 sampai dengan pemilu 2019, terjadi trend peningkatan angka pencalonan perempuan. Pada pemilu 2009, terdapat 31,8% perempuan yang terdaftar dalam anggota DPR. Kemudian, pada pemilu 2014 dari 12 partai politik peserta pemilu terdapat 2.061 orang atau 37,4%.
Sedangkan pada pemilu 2019, tercatat sebanyak 3.200 orang atau 40% dari total keseluruhan calon anggota DPR adalah perempuan. Namun, meski secara pencalonan tinggi, nyatanya pada pemilu 2019 sendiri hanya terdapat 20,5% dari 575 anggota DPR.
Salah satu nya adalah The political of presence , dalam bentuk kuota berdasarkan gender, etnis dan juga ras, demi menjamin kesetraan gender dan untuk kelompok yang terpinggirakan. Lalu ada The politic ideas, situasi dimana wakil politik mampu menghadirkan ide gagasan dari orang yang diwakilinya. Sebagai seorang wakil perempuan di perlamen.
Wakil politik sudah seharusnya memiliki pengalaman dan kepentingan yang sama dengan yang diwakilinya, untuk itu perwakilan perempuan dalam lembaga pemerintah seperti perlamen menjadi peting keberadaannya dalam ragka memproduksi kebijakan -- kebijakan yang berbasis pada pengalaman dan kebutuhan perempuan.
Suara perempuan khususnya dalam memperjuangkan dan meunjukan nilai-nilai, prioritas dan karakter khas perempuan baru bisa diperhatikan dalam kehidupan publik apabila suaranya mencapai minimal 30-35 persen.
Untuk itu jumlah anggota legeslatif perempuan di perlemen menjadi sangat penting. Dalam usaha ini Pemerintah perlu terus mendorong upaya peningkatan keterwakilan perempuan di dalam pada tahun 2024.
perlu terus mendorong upaya peningkatan keterwakilan perempuan di dalam pada tahun 2024. Perlu ditegaskan bahwa pengaturan adanya kuota minimal 30 persen keterewakilan di perlamen dimaksudkan untuk memastikan dan meningkatkan partisipasi aktif perempuan di segala perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan di perlamen.
Salah satu contoh konkret betapa pentingnya keterwakilan perempuan adalah UU no 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dimana pasal 81 memberikan hak bagi perempuan untuk mengambil cuti ketika sedang menstruasi.
Hal tersebut memperjelas bahwa keterlibatan perempuan sangat penting dalam pengambilan kebijakan dan menyuarakan hak nya karena hanya permpuan sendiri yang mengerti dan merasakan kepentingan dan kebutuhan seorang perempuan.