Ketika kita mengikuti sebuah grup dalam Facebook tentang fotografi, apa pun jenis dan genrenya, saat ada yang bertanya mulai dari mana untuk belajar, maka komentar yang muncul akan seragam, pelajari segitiga exposure, pelajari komposisi, udah itu aja. Jawaban yang tidak salah menurut saya, memang benar seperti itulah yang harus kita pahami jika ingin masuk ke dunia rekam beku, namun sangat normatif kedengarannya, sebab setelah itu apa dan harus bagaimana tidak pernah jelas kelanjutannya. Ada pendekatan yang berbeda, atau malah sangat berbeda malahan jika pertanyaan itu diajukan kepada para photographer magnum. Rata-rata nasihat mereka kepada siapa pun yang baru akan memulai ada tiga, baca novel, perbanyak nonton film, saran terakhir belilah sepatu yang nyaman untuk dipakai berjalan dan mulailah mengunjungi museum.
Mari kita lihat satu per satu maksud dari ketiga hal di atas. Pertama adalah membaca novel. Dalam novel terdapat bagian-bagian yang menceritakan detail sesuatu yang sedang berlangsung yang dialami tokoh-tokoh di dalamnya. Detail itu biasanya akan menciptakan imajinasi kita yang membacanya, dan imajinasi itulah yang kelak akan digunakan kita untuk menciptakan sebuah karya foto. Bingung ya? Mari kita perjelas.
Jika kita membacanya pada buku tanah, bagian pertama dari kitab lima elemennya Eiji Yoshikawa ini, akan diceritakan perang Sekigahara. Detail tentang keadaan sehabis perang ini jelas digambarkan sehingga mencetak imajinasi saya akan kengerian perang yang terjadi setelah wafatnya Hideyoshi Toyotomi. Jadi, jika memungkinkan, saya bisa membuat sebuah karya foto tentang suasana Jepang zaman dahulu sesuai dengan imajinasi saya berdasarkan novel Musashi ini walau saya belum pernah ke Jepang sekalipun. Mungkin maksud para photografer magnum itu sama seperti pengalaman Karl May yang bisa begitu hidup menggambarkan situasi wild west-nya Amerika dalam tokoh Old Shatterhand and Winnetou, padahal Karl May sendiri merupakan orang Jerman yang sama sekali belum pernah ke Amerika saat cerita itu dibuat.
Contoh lain, ketika saya membaca Anak Bajang Membawa Anginnya, Rm Sindhunata, bayangan saya akan tokoh Putra Anjani begitu melekat sehingga saat ada kesempatan, saya mencoba membuat imajinasi itu ke dalam sebuah frame.
Kemudian perbanyak nonton film. Dalam pembuatan sebuah film, ada yang namanya DOP (Director of Photography). Orang yang menyandang jabatan ini tentu saja sangat menguasai fotografi dan seluk-beluknya sehingga proses yang berjalan frame demi frame akan menciptakan kesan atau rasa yang tepat, suasana dan membangkitkan emosi sesuai dengan naskah ataupun arahan sutradara. Pencahayaan, angle of view, framing, shot size, dan lain-lain harus benar-benar sempurna agar cinematic look dapat tercapai. Itulah kenapa saran kedua kita harus perbanyak nonton film.
Terakhir, kita wajib mengunjungi museum. Sebenarnya sudah jelas maksudnya, saat kita berkunjung ke museum, kita akan menemukan saudara-saudara tua dari fotografi, seperti seni lukis, seni memahat, seni patung, dan karya seni lainnya, atau bahkan karya foto zaman awal-awal kotak bernama kamera digunakan massal. Di sini diharapkan intuisi kita akan elemen-elemen pembentuk gambar bisa tumbuh dan berkembang hingga menciptakan sesuatu yang akan 'klik' dengan keinginan kita mulai mempelajari dunia rekam beku.
Itu makna yang saya tangkap dari tiga hal yang disarankan oleh para FG Magnum, jika saya salah menerka mohon maaf.
Salam jepret.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H