Ini adalah kategori dalam fotografi yang paling mudah, kita bisa pasang idealisme kita setinggi langit. Tidak ada foto yang akan dipancung editor, tidak ada isi kebun binatang yang keluar dari klien, tidak pusing nyela ketika brainstroming karena ide yang ada sangat tidak masuk diakal. Tidak mendadak mual ketika harapan dan kenyataan 180 derajat, dan terakhir tidak akan susah nagih pembayaran saat jatuh tempo.
Semuanya sangat indah terasa, minusnya ya cuma tidak ada yang membayar, menghabiskan banyak tempat di HDD, dan mentok-mentoknya hanya kita unggah pada media sosial yang kita miliki. Namun akan terbayarkan dengan kepuasan hati, ini yang tidak akan ada persamaannya.
Walaupun hanya fotografi pribadi, proses yang kita lewati hampir sama dengan kategori lainnya. Kesemua proses yang tertera seperti gambar dibawah ini membutuhkan satu kata yaitu 'melihat'.
Di sinilah the art of seeing karya Alfred Stieglitz, dan juga Freeman Patterson itu tercipta. Dua karya yang berbeda namun satu intinya, kita diharapkan memulainya dari 'melihat'.
Ide itu datangnya dari melihat (baik di jalanan yang kita lalui, televisi, film, bioskop, rumah, dan sebagainya), komunitas itu cara kita belajar melihat apa yang dikerjakan kawan-kawan, internet itu berarti kita melihat foto-foto yang menarik hati, membaca e-book itu juga melihat, workshop/kelas itu ada proses melihat, gear dan mencoba adalah memasukkan unsur melihat kita. Semuanya tentang melihat bukan?
Setelah melihat, tentu harus ada aksinya, saatnya kita mencoba membuat sebuah foto. Mason Cooley pernah bilang "Art begins in imitation and ends in innovation". Seni itu dimulai dari meniru, mencoba membuat yang sama, hingga pada akhirnya menemukan sesuatu yang baru.
Ini cara pencarian saya dalam fotografi pribadi
Splash dan drip photography seperti contoh di atas (cara buatnya disini) tentu banyak banget kita lihat, ide saya meniru di sini karena terinpirasi satu hal, seberapa susah sih membuat seperti ini. Ternyata lumayan susah, banyak momen yang tidak pas, entah itu terlalu cepat atau bahkan terlambat menekan shutter.
Belum puas juga, saya coba lagi kali ini dengan medium yang lainnya. Segelas kopi yang memberikan semburan mood booster.
Kemudian terinspirasi buku fotografi Dunia tanpa Nyawa, om Fauzi Helmy, saya coba bikin foto genre toy photography. Ini yang saya suka dari toy photography karena menurut saya, TP adalah representasi dari imajinasi, keinginan, serta sebuah fantasi dari masa kecil dulu.
Hari ini setiap orang masih mempunyai sisi anak-anak yang tetap hidup dalam diri masing-masing. Dengan sebuah kamera. semua hal itu akan tertuang dalam 'ruang penciptaan'. Sentuhan liar akan imajinasi serta fantasi akan membuatnya 'hidup'.
Tantangannya adalah membuat mainan tidak hanya sebuah rupa dari plastik atau logam, akan tetapi memiliki 'nafas kehidupan'. Sayangnya saya masih jauh dari itu. Lagi ngetren bokeh-bokehan, coba ikutan juga.
BTS (behind the scene)-nya sangat simpel untuk foto di atas ini, saya menggunakan satu buah lampu belajar dengan jenis TL tornado (ulir) dan light shaping (bayangan warna putih memanjang pada bagian kanan lensa) memakai dus ipad.
Kemudian ada hitungan circle of confusion pada depth of field yang bikin pusing
Couple photography
Saya kemudian mencoba menggunakan semua sumber cahaya, mulai dari pencahayaan yang sangat simpel yaitu memanfaatkan cahaya matahari yang masuk melalui kaca jendela.
Kemudian menggunakan cahaya buatan, 2 buah lampu duduk, yang di balut kertas hvs putih 60 gram, guna melembutkan cahayanya.