Warga Jakarta yang belum punya rumah perlu bergembira jika ada kebijakan memiliki rumah dengan DP Nol rupiah. Dalam jual beli rumah baru, calon pembeli yang terkendala dengan Uang Muka sangat banyak. Sementara itu, secara umum pembiayaan bank hanya sekitar 70-80% dari harga jual. Artinya, jika harganya Rp 300 juta, berarti pembeli harus menyiapkan Uang Muka setidaknya Rp 60-90 juta. Angka yang tidak kecil bagi warga kelas menegah bawah. Angka tersebut, belum termasuk biaya-biaya lain dalam alih kepemilikan hak properti. Dan tentu, warga jakarta yang tidak memiliki rumah baik (tapak ataupun susun), juga kemungkinan besar tidak memiliki tabungan Rp 50 juta ke atas.
Jika kondisi tersebut dibiarkan, maka kita akan menjumpai begitu banyak warga Jakarta menjadi penyewa properti. Celakanya, pemilik properti itu adalah warga pendatang atapun warga non Jakarta yang memiliki modal cukup. Kalau warga Jakarta hanya sebagai penyewa, maka secara tidak langsung menempatkan warga Jakarta menjadi warga kelas dua. Kelas satunya adalah pemilik properti sendiri. Bisa dibayangkan bahwa anak-cucu mereka juga boleh jadi tidak memiliki rumah sendiri dan menjadi penyewa. Lalu Jakarta milik siapa? Jawabnya milik penguasa aset properti di Jakarta. Implikasinya, suatu saat warga Jakarta akan terusir dan terusik sejalan dengan peningkatan harga sewa properti itu sendiri
Saat ini, warga Jakarta yang tengah dikerangka sebagai penyewa, mungkin tidak sadar bahwa di kemudian hari akan makin sulit memiliki aset-properti. Lebih celaka lagi bila yang mengkerangka warga sebagai penyewa adalah Pemerintah melalui suatu kebijakan. Padahal, pemerintah sendiri selalu meggaungkan kata Kedailan dan kesejahteraan Sosial. Mungkin, kita perlu lagi balik kebutuhan pokok tiga serangkai : PANGAN, SANDANG, DAN PAPAN. Ketiga kata serangkai tersebut sudah pantas menjandi perhatian pemerintah.
Untuk pemenuhan papan bagi warga, kebijakan terobosan Pemerintah Pusat dalam bentuk KPR Subsidi, Bunga 1%, dan Bantuan Uang Muka bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah, perlu diapresiasi. Perlu pula diapresiasi, adanya rencana program tambahan dari Pemda yang akan memberi Dana Talangan Uang Muka bagi warganya sampai senilai Uang Muka/DP yang dipersyaratkan oleh Bank. Jadi, DP Nol suatu keniscayaan.
Sangat dimengerti jika DP Nol menjadi pro kontra, karena esensinya belum terjelaskan secara menyeluruh. Dan tentunya kita perlu membuka pikiran bahwa antara Nol Rupiah dan Nol Persen itu berbeda. Kita percaya bahwa Gubernur BI dan juga MenPU-Pera hanya menangkap suatu kesan bahwa program DP Nol Persen sehingga menganggap tidak mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H