Lihat ke Halaman Asli

Getha Dianari

Karyawan Swasta

Di Balik Pesona Lembang

Diperbarui: 18 Januari 2019   21:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok.pribadi

Memiliki ayah seorang pegawai BUMN, salah satu konsekuensinya adalah cukup sering berpindah tempat tinggal. Hingga datang suatu momentum titik balik bagi keluarga kami, akhirnya ayah memutuskan sekeluarga pindah ke sebuah kecamatan di utara Bandung saat usia saya 13 tahun. Sebuah tempat ayah dahulu menghabiskan masa kecil penuh kenangan dan ingin kembali lagi menghabiskan masa tua indah nun damai bersama pasangan cinta sejatinya, tak lain tak bukan ialah ibundaku tercinta.

Tempat ini istimewa, Lembang namanya. Sering disebut kota, padahal desa. Terletak di kaki gunung perahu telungkup yang ditendang Sangkuriang dalam legenda. Karenanya, setiap hari kami hirup udara segar, mandi dan wudhu dari mata air pegunungan. Menggigil tiap pagi buta, dibasuh uap-uap embun dari dalam mulut yang gelisah, disengat angin bercampur terik matahari sampai-sampai keringat tampak sungkan, sedangkan malam hari tak ada jalan selain meringkuk kedinginan dalam selimut supaya bisa terlelap sedikit.

Kami hidup dalam kesederhanaan dan kesahajaan membaur dengan masyarakat sekitar. Tak ada mall untuk berbelanja, hiburan bioskop, atau kafe-kafe kekinian. KFC dan coffee bar baru tampak ada belakangan. Perlu pengorbanan menyusuri jalan menurun meliuk-meliuk kurang lebih lima belas kilometer jauhnya menuju pusat perbelanjaan terdekat di Bandung.

Salah seorang pemuka agama di kampung kami berkatadaerah pegunungan memang bukan tempatnya mencari hiburan atau bergumul dalam perihal duniawi. Rasulullah sejatinya adalah seorang pemimpin yang cerdas, open minded, shiddiq, ia menggenggam cakrawala. Karakter itu terbentuk semata-mata karena ia tumbuh dan berkembang bersama alam pegunungan, bakat alamiah yang ditularkan semesta. Derajat menjulang mendekap langit, disesaki rasa syukur belajar dari alam semesta yang membentang sejauh mata memandang.

Lembang dahulu dan sekarang

Sepertinya Lembang sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar warga Jakarta dan Jawa Barat. Sabtu Minggu, terlebih hari-hari libur besar, sepanjang jalan dipadati mobil-mobil berplat B dan D. Lembang adalah tujuan wisata strategis yang menawarkan keindahan alam dan kekayaan sumber daya sekitar. Sebut saja Situ Maribaya, De Lodge, Pine Forest, Taman Begonia, De' Ranch, Floating Market, Boscha, Farmhouse, Tangkuban Perahu, Grafika, Orchid Forest, Sari Ater, Tahu Tahuid, Tahu Susu Lembang, Serba Susu, Kampung Daun, Dusun Bambu, dan masih banyak lagi. Destinasi-destinasi itu menjadi daya tarik tiada habis-habisnya bagi para pelancong.

Perekonomian Lembang saat ini bertumpu pada sektor pariwisata. Sebagai penunjang, semakin banyak hotel-hotel dibangun di sepanjang jalan arteri, akses menuju Lembang dari Bandung maupun Subang. Jalan lokal pun lama-kelamaan dibuka menjadi jalur alternatif dan mulai ditumbuhi villa-villa penginapan. Warga-warga sekitar tak mau kalah ikut andil meramaikan jadi juru parkir, juru karcis, jual tahu, strawberry, sosis bakar, susu murni, reseller kue oleh-oleh, dan jika punya kompetensi lebih bisa menjadi pelayan atau kuncen kuda.

Namun di balik itu saya punya keyakinan, shareholder industri pariwisata Lembang saat ini sebagian besar dikuasai swasta yang berasal dari pendatang atau peranakan. Tapi tetap saja menguntungkan bagi pemda karena sektor ini membantu perekonomian masyarakat setempat dan berkontribusi besar terhadap pajak.

Berbeda cerita dengan Lembang jaman baheula.

Ayah sudah mengenal Lembang sejak usia delapan, sekitar tahun 1967. Singkat cerita, Lembang belum seramai sekarang. Semua serba jarang, ya penduduk ya rumah ya kendaraan. Karenanya udara berkali-kali lebih dingin dari dinginnya Lembang saat ini. Pagi-pagi tertutupi embun, tidak bisa lihat apa-apa jika ada objek lima meter saja di depan mata.

Namun semua berubah sejak selesainya pembangunan Tol Padaleunyi tahun 1991. Ditambah lagi peneluran Pakto 88 di jaman Alm Pak Harto, sebuah kebijakan yang mempermudah pendirian bank swasta nasional, sampai-sampai di tahun 1994 terdaftar 166 bank berdiri di Indonesia. Akses keuangan, terutama kredit, menjadi booming, termasuk kredit kendaraan mobil. Mobil-mobil (kreditan) itu lantas dengan mudah menuju Lembang dari berbagai penjuru melintasi tol.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline