Lihat ke Halaman Asli

Hanya Sebuah Tulisan

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash



“Brakk!” Amarah yang tak terbendung kulampiaskan dengan membanting cerpen-cerpen itu. Mungkin memang ada yang salah dengan tulisanku. Ini cerita pendek yang ke-22, dan nasibnya sama dengan 21 cerpen sebelumnya. Kesal rasanya sudah capek-capek menulis malah dikembalikan lagi.

“Kenapa Fir? Dikembaliin lagi ya?” Huh, pertanyaan retoris, batinku. Ratih menepuk-nepuk pundakku dan membereskan kertas yang berhamburan. Aku hanya terdiam dan membiarkan Ratih mengambil kertas-kertas yang tak lain berisikan cerpenku sendiri.

“Sudahlah Fir, jangan terlalu keras pada diri sendiri, kamu kan nggak harus mengikuti jejak orangtuamu,” Ratih menghiburku.

“Tapi aku bosan dibanding-bandingin sama Mas Trisna terus Tih.” Mas Trisna adalah kakakku satu-satunya, ia duduk di bangku kuliah dan tulisannya sering diterbitkan di koran harian. Hanya ia di keluargaku yang mengikuti jejak Mama. Mama dulu adalah jurnalis yang cukup disegani. Sampai sekarang Mama aktif menulis opini dan dimuat di berbagai majalah. Bapak pernah menerbitkan antologi puisinya, bahkan sekarang masih sering mengirim puisi ke koran harian. Sedangkan aku? Karyaku nol besar dan sering ditolak sana-sini.

“Mungkin belum saatnya karya kamu dimuat, tapi suatu saat pasti dimuat Fir.”

“Males Tih, aku mau berhenti nulis aja.”

“Gimana kalo kamu ikut lomba aja? Deadline nya masih seminggu lagi, tapi kan kamu punya stok cerpen banyak, tinggal milih aja.”

“Hah? Nggak salah kamu Tih? Dimuat majalah apa koran aja belum pernah apalagi ikut lomba?” Kataku pesimis.

“Lho, nggak ada salahnya mencoba kan?”

Aku hanya menggeleng mendengar bujukan Ratih. Cukup sudah dengan tulis menulis, semangatku telah luntur. Ratih terus-terusan membujukku dengan menyebutkan beberapa hadiah bagi pemenang. Menarik, tapi aku tak tergiur sedikitpun.

“Kan lumayan tuh Fir, kalo menang kamu dapat hadiah, aku bisa kecipratan deh, hehehe,” canda Ratih. “Nih.” Ratih menyodorkan cerpenku yang telah ia rapikan. “Jangan dibuangin ya, gitu-gitu juga karya kamu lho.”

“Iya Mami Ratiiiih.” ejekku, ia memang mirip Mama, hobinya rapi-rapi kamar kost. Kadang jika tempat tidurku berantakan, Ratih yang merapikannya, ia paling tidak bisa melihat kamar berantakan. Ratih hanya mengerucutkan bibir mendengar ejekanku, ia melemparkan bantal dan mengenai kepalaku.“Ampun Mamiiii, terimalah serangan balikku!” Aku membalas melemparkan bantal ke arahnya. Ratih membalas lagi. Kami tertawa bersama dan perang bantal hingga senja tiba. Tanpa kusadari, rasa kesal gara-gara cerpenku yang dikembalikan mendadak sirna.

***

Biasanya aku selalu antusias jika akhir pekan tiba, namun tidak untuk kali ini. Aku sedang malas pulang ke rumah. Pasti Mama akan menanyai cerpenku lagi, kemudian Bapak membahas cerpen Mas Trisna yang dimuat di koran minggu ini. Uh, membayangkannya saja aku sudah jenuh. Aku mengamati Ratih yang tengah bersiap-siap pulang ke rumahnya. Ia tinggal di Kebumen, cukup jauh dari Purworejo, kira-kira satu jam perjalanan. Makanya ia memilih unuk tinggal di kost. Rumahku sendiri tidak begitu jauh dari sekolah. Dari Bagelen ke Purworejo cukup naik angkot sekali dan memakan watu sekitar tiga puluh menit. Tapi karena aku sering bangun kesiangan, Mama akhirnya menyuruhku untuk kost. Padahal rumah Kakek tak jauh dari sekolahku di Purworejo, tapi Mama dan Bapak tidak ingin aku merepotkan Kakek maupun Nenek. “Belajar mandiri,” begitu kata Bapak.

“Nggak pulang kamu Fir?” Ratih membuyarkan lamunanku sejenak. Ia heran melihatku tidak mengemasi baju seperti biasa.

“Oh, nggak Tih. Mau ke rumah Kakek aja nanti.” Mendadak aku ingin ke rumah Kakek. Di sana pasti sangat menyenangkan, banyak buku. Aku bisa membaca sepuasku. Lagipula sudah lama aku tidak berakhir pekan di sana. Aku tersenyum sendiri, Ratih menggelengkan kepala dan menepuk pundakku. Suara khas motor Ayah Ratih rupanya telah menunggu di depan kos.

“Yaudah aku duluan ya Fir.”

“Sip!” Kataku sambil mengacungkan ibu jari. Ratih melambaikan tangannya, aku membalas lambaiannya dari jendela kos sambil mengangguk sopan pada Ayah Ratih.

Kemudian aku bergegas menuju rumah Kakek yang berjarak dua kilometer dari kost. Naik angkot sekali, tak ada lima menit aku tiba. Sesampainya di sana Kakek terlihat sangat senang menyambut kehadiranku. Beliau yang tadinya sedang membaca di teras segera melepas kacamatanya.

“Fira, lama banget tidak ke sini apa kabar?”

“Alhamdulillah baik Kek,” kataku sambil mencium tangan Kakek. Beberapa saat kemudian Nenek muncul, aku segera menyalami dan mencium tangan Nenek.

“Kok tumben sabtu sore ke sini? Kamu nggak pulang?” Tanya Nenek.

“Nggak Nek, Fira mau menginap di sini aja, boleh kan Nek?” Tanyaku penuh harap. Kakek tertawa mendengar permohonanku, sementara Nenek tersenyum dan mengusap kepalaku.“Sudah minta ijin sama Mama dan Bapak kan?” Tanya Nenek lagi. Aku mengangguk cepat. Saat di perjalanan tadi aku telah menelepon Mama dan meminta ijin untuk menginap di rumah Kakek. Tentu saja diijinkan, tapi dengan syarat aku harus membantu Nenek di dapur dan tidak boleh merepotkan Kakek.

“Sudah makan belum Fir? Kabar Bapak sama Ibumu gimana?” Kakek meletakkan buku dan kacamata di atas meja. Sekilas kulirik buku yang dibaca Kakek, sampulnya terlihat lusuh dengan gambar seorang petani yang sedang mencangkul di balik pagar kawat berduri.

“Alhamdulillah Bapak sama Mama baik Kek, Fira sudah makan tadi siang,” jawabku sambil terus memperhatikan buku tadi. Judulnya menarik perhatianku.

“Mas Trisna gimana? Kamu kelas berapa sekarang Fir? Dua ya?”

“Mas Trisna kuliah di Jogja Kek, Fira baru kelas satu.” Aku masih mengamati buku Kakek. Sementara Kakek mengangguk-angguk mendengar keteranganku.

“Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, kamu suka baca kan Fir?” kata Kakek menyebutkan judul buku yang kuamati. Rupanya Kakek memperhatikan aku yang terus mengamati buku yang bergambar petani itu. Aku mengangguk dan tersenyum malu.

“Judulnya bagus Kek,” kataku jujur. Kakek tertawa sambil mengambil buku itu dan menyodorkannya padaku.

“Ini, bacalah. Bukan hanya judulnya yang bagus.” Aku menerima buku itu dengan senang. “Tapi dibaca di sini aja ya, jangan dibawa pulang,” lanjut Kakek.

“Siap Kek!” Kataku sambil berlagak memberi hormat.

“Ayo kita pindah ke ruang tamu saja, di sini banyak nyamuk.” Kakek tersenyum sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku membawa buku bergambar petani dan segera membacanya begitu duduk di ruang tamu. Sementara Kakek membaca buku lain yang beliau ambil di rak buku ruang tamu. Nenek yang baru datang dengan beberapa cangkir teh hangat juga kemudian ikut membaca. Sungguh tenang dan menyenangkan, Kakek tidak pernah membandingkan aku dengan Mas Trisna ataupun bertanya-tanya tentang cerpen yang kubuat. Aku membolak-balik buku yang halamannya telah menguning itu. Kakek dan Nenek tampak serius membaca sambil minum teh. Kami bertiga tenggelam dalam kesunyian senja.

***

Kakek benar, buku yang kubaca kemarin tak hanya bagus judulnya, namun isinya juga bermanfaat. Setelah membaca Nyanyi Sunyi Seorang Bisu gairah menulisku kembali meletup-letup. Kegigihan Pak Pramoedya (penulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu) untuk terus menulis seakan telah menular padaku. Sejak hari itu aku jadi rajin mengunjungi Kakek dan membaca di sana. Tak hanya satu buku, banyak buku-buku milik Kakek yang kulahap. Semakin banyak buku yang kubaca, semakin banyak pula ide-ide yang bermunculan di kepalaku. Inspirasiku meledak-ledak. Aku kembali menulis. Aku tidak peduli dengan cerpen-cerpenku yang tidak dimuat, aku juga tak lagi risau memikirkan pendapat Mama atau Bapak. Aku menulis sesukaku, membangun dunia di atas imajinasi.

“Buset Fir.. Kamu nulis kaya maniak gini, mana berantakan lagi,” Ratih berdecak melihat begitu banyak kertas berserakan di atas tempat tidurku. Aku diam saja, dan terus melanjutkan tulisanku. Kali ini aku sedang menulis tentang Romlah dan Juminten, dua sahabat yang terpisah akibat peristiwa 10 November di Surabaya, puluhan tahun silam.

“Fir ini cerpen bikinan kamu?” Ratih membolak-balik cerpenku dan membacanya sekilas. “Fir kamu harus ikut lomba nulis cerpen, nggak rugi deh ikutan!” Ya ampun Ratih, lagi-lagi lomba, bukannya kemarin aku udah bilang males? Batinku kesal.

“Ayolah Fir, sayang kalo cerpen kamu nganggur gini,” bujuknya.

“Aku udah bilang nggak mau ya nggak mau! Kenapa sih kamu maksa terus?” Ratih segera terdiam mendengar perkataanku, kubiarkan ia berlalu. Ada rasa sesal yang mengganjal karena telah membentaknya. Namun gengsi dan ego telah membuatku mengabaikan maaf yang harusnya kuucapkan padanya.

***

Lebih dari seminggu aku dan Ratih tak bertegur sapa. Kamar kost yang tadinya hangat dan menyenangkan menjadi dingin. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku dengan menulis, sementara Ratih sibuk dengan laptop barunya. Ingin sekali aku bercanda dengannya seperti biasa, tapi lagi-lagi aku malu dan gengsi menegurnya duluan. Handphoneku berdering, kulirik sekilas, Mama menelepon.

“Fir, udah dua minggu lho kamu nggak pulang, nggak kangen Mamah ya?”

“Kangen kok mah.”

“Ah yang bener? Besok sabtu pulang ya? Kita ke Jogja, Mas Trisna ikut lomba cerpen, masuk finalis 10 besar dia.” Hmm, lagi-lagi Mas Trisna, batinku.

“Fir? Kok diem? Besok kita berangkat bareng-bareng sama Bapak juga. Kamu pulang ya?” Suara Mama ditelepon nampak penuh harap. Aku tak kuasa untuk menolaknya. Lagipula aku juga rindu dengan Mama dan Bapak, juga Mas Trisna.

***

“Juara ke dua, dengan nilai tiga ratus empat puluh lima, berjudul ‘Menanti Mentari’ oleh Wahyudi Sutrisna!” Mama menyenggolku dan bertepuk tangan dengan gembira. Aku yang sedang terkantuk-kantuk langsung membeliakkan mataku dan menyalami Mas Trisna. Bapak memeluk Mas Trisna dan menepuk-nepuk bahunya. Pembawa acara kembali menyebutkan juara pertama dan mempersilakan para juara untuk maju dan menerima hadiah. Mas Trisna tersenyum padaku, sambil melangkah ke podium.

“Baik, para hadirin, kini tiba saatnya untuk mengumumkan cerpen favorit pilihan para dewan juri. Dengan judul cerpen ‘Romlah dan Juminten’ oleh Safira Putri Anjani.”

Apa?? Aku seakan tak percaya mendengar pembawa acara menyebutkan judul cerpen dan namaku. Bagaimana mungkin?.

“Bagi Safira Putri Anjani, dipersilakan untuk ke depan, menerima trofi dan hadiah.” Mama terkejut lalu memelukku erat, Bapak mengusap dan mengacak-acak kepalaku dengan gembira. Aku maju menghampiri Mas Trisna dengan para juara lain. Rasa bingung dan tak percaya masih menyelimutiku. Mendadak aku teringat akan Ratih yang sering membereskan kertas-kertas cerpenku, dan desakannya mengikuti lomba cerpen. Ah, Ratih.. Dasar si Mami iseng, pasti dia yang mengirimkan cerpenku ke lomba ini. Aku tersenyum senang, sekaligus gemas, rasanya aku ingin cepat-cepat pulang ke kost dan melemparinya bantal.

***

“Fir, aku dapet kabar katanya kamu..” belum sempat Ratih menyelesaikan kalimatnya, aku telah menyerangnya dengan bantal.

“Dasar Mami iseng, dibilangin ga mau ikut lomba malah nekat ngirim aja, rasakan serangan bantal bertubi-tubi!” Ratih tertawa dan membalas lemparan bantalku.

“Jadi mana nih traktirannya?” Aku menyeringai lebar sambil melemparkan bantal lagi.

“Nih traktirannya, mau bantal goreng tepung? Sop bantal? Bakso bantal?”

“Ampun Firaaaaaaaaaa hahaha…” Kami tertawa dan kembali berperang bantal seperti biasa, suasana kamar mendadak hangat lagi. Bagaimanapun, tulisan itu hanyalah sebuah tulisan, jika Ratih tidak mengirimkannya, aku takkan tahu sejauh mana kemampuanku selama ini.

“Makasih ya Tih, maaf kemarin aku.. brukk!” Ratih tak mendengarkanku, ia melempar bantal lagi. “Rasakan serangan Mami Ratiiih!”

***

Jakarta, 8 Maret 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline