Lihat ke Halaman Asli

Memoar tentang Mamak

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash



Ini hari kedua, dan aku masih belum bisa memejamkan mata. Ditemani secangkir kopi, kuhabiskan malam sambil menapak kenangan bersama Nenek. Sudah setahun kepergiannya dari dunia fana, namun cerita Nenek tentang Mamak tak pernah pudar. “Mamakmu itu pahlawan,” demikian kata-kata Nenek bergema di telingaku. Aku tersenyum, secangkir kopi di genggaman tanganku nyaris dingin dalam kebekuan malam. Anganku melayang dalam kenangan masa kecilku yang penuh mimpi. Ah, pahlawan? Tanyaku pada diri sendiri. Sejenak bayangan Mamak memakai baju perang, lengkap dengan senjatanya terbesit di pikiranku begitu saja. Kubayangkan Mamak mengangkat tinggi-tinggi senjatanya sambil berteriak “Merdeka!!”

“Berarti Mamak pernah berperang melawan penjajah ya Nek?”

“Lho, memangnya pahlawan itu semuanya berperang?,” Nenek balik bertanya sambil terus menyapu daun-daun kering di pelataran rumah.

“Lha terus? Kok Mamak bisa jadi pahlawan?”

“Mamakmu itu pahlawan devisa Negara,” jawab Nenek sambil menghela nafas panjang. Dahiku berkerut-kerut tak mengerti. Pahlawan devisa Negara? Baru kali ini aku mendengarnya.

“Devisa Negara itu apa Nek?”

Nenek tersenyum menatapku. “Makanya, Alif belajarsing sregep, yang rajin. Besok kalau sudah pintar, sudah besar, Alif pasti ngerti,”

Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Nenek. Hebat, Mamakku pahlawan devisa Negara. Rasanya dadaku mengembang dan berdegup banggga saat mendengarnya. Daripada Mamaknya si Budi, cuma buruh cuci, Mamaknya si Ari tukang jamu keliling. Mamakku pastilah orang hebat, batinku. Walaupun aku tak pernah bertemu Mamak, tapi cerita-cerita Nenek tentang Mamak membuatku merasa sangat dekat dengannya. Mamak pastilah sedang bahagia di surga sana.

Kopi dalam cangkir yang kugenggam semakin dingin, sementara pikiranku masih mondar-mandir di dalam kisah-kisah tentang Mamak. Kutatap foto di seberang meja, di dalam bingkai yang telah usang dimakan waktu. Mamak masih tersenyum menatapku, penuh cinta.

Sekelebat senyum Mamak kemudian berganti dengan raut wajah Mas Karjo, lelaki berjaket kulit yang memberiku sebuah pilihan yang rumit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline