“Kau bukan pecundang, cuma tak pintar saja dalam memilih lawan,” kata Bilam kala Cukisno berkeluh kesah padanya.
Ini adalah hari-hari menjelang Lebaran. Seperti kebiasaan para perantau, Cukisno pulang ke tanah kelahirannya. Melepas rindu yang tertahan pada orang tua, sanak keluarga, dan teman-temannya di kampung halaman.
Seperti lebaran sebelumnya, kepulangan Cukisno disambut orang tua dan saudara-saudaranya. Pemuda itu tersenyum getir. Tahun ini seharusnya ada seorang wanita lain yang ikut menunggu kedatangannya.
Wajah cantik wanita itu akan merona membara saat dirinya kelihatan di pintu kedatangan. Kemudian berlari secepat kuda ke arahnya, dan tanpa ragu-ragu memberikan pelukan sekuat beruang yang meremukkan tubuhnya. Cukisno teringat akan istri yang gagal dinikahinya.
Seharusnya memang romantis seperti itu, kalau saja tunangannya tidak meminta putus dua bulan sebelum hari pernikahan. Katanya, dia tidak yakin tahan menjadi istri yang ditinggal lama oleh suaminya. Dipisahkan jarak dan perbedaan waktu yang serba menyulitkan. Cukisno tentu saja kecewa, patah hati.
Dirinya sadar, itu memang jadi risikonya sebagai pekerja tambang di tempat antah berantah. Ia mencoba tegar, mencari hikmah akan musibah yang menimpanya.
Sayang, usahanya menjadi sia-sia karena seminggu setelah berpisah, si gadis mengumbar kemesraan dengan seorang pria yang tak ia kenal. Sakit hati Cukisno berlipat-lipat, kemudian mewujud menjadi tipes yang melemahkan badannya belasan hari.
Malam itu selepas tarawih, Cukisno sengaja mengajak Bilam, sahabatnya selama kuliah, untuk bertemu. Berbincang dengan Bilam menjadi salah satu ritual yang tak boleh dilewatkan setiap kali Cukisno mudik.
Sahabatnya itu adalah seorang pendengar yang baik. Bukan tipe manusia yang saat diminta menjadi wadah untuk mencurahkan isi hati, malah dengan jumawa menceritakan kisah dirinya sendiri. Sebuah kualitas yang mulai langka, dan tidak ia temukan lagi pada teman-taman barunya.
Malam itu mereka sepakat untuk bertemu di rumah kopi tak jauh dari tempat tinggal Bilam. Kalau saja ini bukan bulan suci, mungkin Cukisno akan mengajak Bilam ke pub dan minum-minum seperti masa kuliah.
Perbincangan mereka masih cair seperti dulu, mengeluarkan apa saja yang ada di kepala mereka tanpa ragu. Tidak ada pemanasan dan basa-basi untuk mengukur sejauh mana lawan bicara mereka berubah. Sebuah langkah yang biasa dilakukan dua orang yang sudah lama tidak bertemu.