Lihat ke Halaman Asli

Bapakku Bukan Penculik

Diperbarui: 7 November 2016   15:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kamu ditahan.”

Sepasang borgol membelenggu kedua tangan Tejo. Tejo tak diam, dia berusaha melepaskan borgol itu, namun tangan-tangan polisi yang berbadan gempal itu lebih kuat memeganginya.

“Apa salah saya, pak?” elak Tejo.

“Dijelaskan di kantor polisi saja. Sekarang kamu diam, dan ikut kami kalau kamu tidak mau hukumannya makin berat.”

Tejo digelandang ke kantor polisi untuk dimintai beberapa keterangan. Sesampainya di kantor polisi, tejo didudukkan di kursi kayu. Lampu di atas kepalanya agak membuatnya kepanasan. Tiga orang polisi berbadan besar dengan otot-otot yang kekar mengelilingi Tejo. Seorang polisi maju menutup mata Tejo dengan kain hitam.

***

Pagi-pagi buta Tejo sudah siap-siap mencari nafkah. Disiapkannya semua peralatan kerjanya. Pria paruh baya yang masih membujang ini seorang penghibur jalanan yang taat pada Tuhannya. Tiap pagi tak jarang ia bangun sebelum adzan subuh berkumandang. Ia pun memasak nasi beserta lauk seadanya untuk anak-anak asuhnya yang tinggal bersamanya sejak bencana banjir 2009 lalu di Jakarta.

“Pak, biar Sri bantu masak.”

“Bangunin adik-adik yang lain saja.”

“Pak,” panggil Ilham.

“Kenapa?” jawab Tejo.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline