“Bahwa sesungguhnya mahasiswa adalah pemuda-pemudi yang memiliki keyakinan kepada kebenaran dan telah tercerahkan pemikirannya serta diteguhkan hatinya saat mereka berdiri di hadapan kezaliman.”
Demikianlah kalimat manis yang merupakan pembuka dari Undang-Undang Dasar Ikatan Keluarga Mahasiswa UI (UUD IKM UI). UUD IKM UI barangkali dapat kita analogikan seperti UUD 1945, yakni sebuah konstitusi yang menjadi dasar dari segala pengaturan atas fungsi, tugas dan kewenangan dari berbagai lembaga kemahasiswaan di Universitas Indonesia. Namun sayangnya, konstitusi ini amat usang dan dibiarkan rapuh oleh pemuda-pemudi yang memiliki keyakinan kepada kebenaran dan tercerahkan pemikirannya serta diteguhkan hatinya.
Sebagai salah seorang kuasa hukum dari Calon Anggota MWA UI UM, Muhammad Delly Permana, rasanya saya perlu membuat tulisan ini agar segenap mahasiswa UI, yang rasanya memiliki keyakinan kepada kebenaran dan tercerahkan pemikirannya serta diteguhkan hatinya, dapat memahami dasar dari perjuangan yang dilakukan oleh kami di panggung Mahkamah Mahasiswa dengan nomor register perkara 01/PSHP/XII/2014/MMUI.
Pada dasarnya kami menghormati segala mekanisme dan keputusan yang telah dibuat oleh DPM selaku pelaksana Uji Kepatutan & Kelayakan (UKK), akan tetapi kami merasa perlu memperjuangkan keadilan yang selama ini kabur dan tidak kunjung dicari oleh DPM selaku perwakilan dari Mahasiswa.Hal tersebut bermula dari adanya pasal pada UUD IKM UI yang mengatur pelaksanaan suksesi lembaga kemahasiswaan, yaitu MWA UI UM, dimana pada pasal 22 ayat (1) disebutkan bahwa Pemilihan Raya diselenggarakan untuk memilih Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa secara berpasangan, Anggota Independen Dewan Perwakilan Mahasiswa, dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Unsur Mahasiswa. Kesimpulan yang saya, dan kuasa hukum lainnya tarik ketika membaca pasal tersebut tentunya mekanisme yang digunakan dalam Suksesi Anggota MWA UI UM adalah Pemira karena begitu jelas padanan kata “dan” pasal tersebut yang mensejajarkan Anggota MWA UI UM dengan Ketua dan Wakil ketua BEM, dan Anggota Independen DPM UI.
Namun kerancuan terjadi ketika kami menelisik pasal lain yang ternyata mengatur pelaksanaan teknis pemilihan MWA UI UM yaitu pasal 25 UUD IKM UI. Pada pasal 25 huruf a UUD IKM UI disebutkan bahwa pemilihan anggota majelis wali amanat Universitas Indonesia Unsur Mahasiswa dilakukan dengan Uji Kelayakan & Kepatutan oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa danPemilihan Raya. Dan kemudian pasal 25 huruf b disebutkan jika terdapat dua calon Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Unsur Mahasiswa, pemilihan hanya dilakukan dengan Uji Kelayakan dan Kepatutan.
Melihat pasal tersebut, kemudian muncul tanda tanya besar di benak kami. Mengapa ada pertentangan antara pasal 22 dan 25 a yang menyebutkan bahwa seharusnya suksesi Anggota MWA UI UM dilaksanakan dengan Pemira, dengan pasal 25 b yang menyatakan bahwa apabila terdapat dua calon hanya dilakukan dengan UKK. Pasal 25 b inilah yang menjadi dasar bagi DPM UI dalam melaksanakan UKK.
Disini kami melihat tidak adanya kepastian hukum dalam pelaksanaan UKK dalam rangka pemilihan MWA UI UM selama ini karena adanya pertentangan yang ada pada Konstitusi itu sendiri. Setelah berdiskusi dengan beberapa orang senior dan orang yang ahli dalam ilmu perundang-undangan maka kami sampai pada kesimpulan bahwa seharusnya dilaksanakan Pemira untuk memilih Anggota MWA UI UM.
Terlebih lagi kebingungan itu semakin muncul ketika adanya fakta yaitu bias kewenangan antara panitia Pemira dan DPM UI dalam penyaringan Calon Anggota MWA UI UM. Apabila mekanisme suksesi Anggota MWA UI UM dilaksanakan melalui UKK oleh DPM, mengapa pendaftaran, dan verifikasi Calon Anggota MWA UI UM di urus oleh Panitia Pemira? Lalu mengapa pula menurut Pasal 69 Undang-Undang No 1 Tahun 2014 Tentang PEMIRA IKM UI disebutkan bahwa Anggota MWA UI UM yang terpilih ditetapkan dengan Keputusan Panitia Pemira. Apabila Anggota MWA UI UM terpilih berdasarkan UKK oleh DPM UI, bukankah seharusnya ketetapan hasil juga di legitimasi oleh DPM UI? Karna banyak nya kecacatan hukum yang terjadi selama proses pemilihan Anggota MWA UI UM tersebut maka kami memberanikan diri untuk mengajukan perkara ini ke Mahkamah Mahasiswa. Tujuan kami bukanlah menyudutkan DPM selaku penyelenggara UKK, ataupun menggagalkan langkah sahabat kami, Abdel, yang telah terpilih melalui UKK tersebut. Akan tetapi kami berusaha memperbaiki sistem pemilihan MWA UI UM yang penuh ketidak jelasan selama ini agar menjadi terang dan memiliki kepastian hukum.
DPM seakan tidak mau dipersalahkan karena menjalankan amanat pasal 25 huruf b UUD IKM UI.Ketika perkara ini masuk ke Mahkamah Mahasiswa, terdapat beberapa tanggapan yang memandang bahwa seharusnya UKK ini tidak dapat diadili melalui Mahkamah Mahasiswa. Tanggapan tersebut pun keluar secara resmi dari DPM UI yang melalui format jarkoman di beberapa grup yang isinya adalah pengurus lembaga kemahasiswaan di UI, dan melalui media sosial. Kami memaklumi reaksi DPM tersebut, karena toh itu pun mekanisme yang dilakukan oleh DPM kepengurusan sebelum-sebelumnya untuk memilih MWA UI UM.
Persidangan pun berlangsung hingga tahap pembuktian. Pemohon, mengajukan saksi dan ahli yang sekiranya dapat memperkuat dalil bahwa terjadi kecacatan sistem yang dilakukan oleh DPM UI dalam menafsirkan mekanisme suksesi Anggota MWA UI UM. Tidak mau kalah, DPM UI pun dapat membawa Notulensi Musma yang dilaksanakan pada tahun 2006 silam tersebut sehingga dapat menunjukan “original intent” dari pembuat UUD IKM UI yang kira kira memperkuat bahwa UKK yang dilaksanakan oleh DPM UI adalah mekanisme yang paling tepat menurut UUD IKM UI dalam kondisi hanya terdapat dua calon.
Pada malam hari, tanggal 17 Desember 2014 putusan pun dibacakan oleh empat orang hakim Mahkamah Mahasiswa. Hakim Dengan tegas menolak seluruh eksepsi yang di dalilkan oleh Termohon 1 (DPM UI). Hakim pun menyebutkan bahwa Mahkamah Mahasiswa tidaklah berwenang untuk mengadili dan memutus perkara ini karena objek permohonan termasuk kedalam lingkup UKK bukan Pemira UI.
Kemudian Mahkamah Mahasiswa pun menyatakan bahwa Tap DPM Nomor 23/Tap/DPMUI/XI/2014 selaku ketetapan yang mengatur pelaksanaan UKK oleh DPM UI, merupakan suatu kebohongan publik karena telah menyampaikan informasi yang tidak benar atau setidaknya dapat dipandang sebagai tindakan kelalaian yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang. Tindakan tersebut pun merupakan tindakan yang sewenang-wenang dan merupakan tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh lembaga kemahasiswaan.
Perkara ini pun dinyatakan selesai dengan pembacaan putusan dan beberapa rekomendasi terkait amandemen UUD IKM UI khusunya mengenai pasal-pasal yang mengatur tentang pemilihan Anggota MWA UI UM.
Sebagai pemohon, kami merasa sudah amat bersuka cita atas putusan Mahkamah Mahasiswa tersebut. Seperti yang saya sebutkan diatas, perjuangan ini bukanlah untuk memenangkan seseorang ataupun menjatuhkan seseorang akan tetapi untuk menemukan kebenaran dan keadilan yang telah lama hilang dan enggan kembali ke lingkungan pemuda-pemudi yang katanya memiliki keyakinan kepada kebenaran dan telah tercerahkan pemikirannya serta diteguhkan hatinya saat mereka berdiri di hadapan kezaliman.
Namun, kami sadar bahwa langkah menemukan kebenaran dan keadilan yang sudah saya tuliskan sebelumnya belumlah selesai. UUD IKM UI yang merupakan konstitusi amatlah rapuh, usang dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Sebagai konstitusi, UUD IKM UI mengatur hal-hal yang bersifat teknis (pasal 25) padahal seharusnya ketentuan teknis tersebut diatur pada undang-undang yang berada dibawahnya. Tidak adanya naskah akademik dari konstitusi tersebut. Banyak peraturan yang melahirkan kerancuan penafsiran. Hal itupun diperparah dengan sulitnya mengakses notulensi Musma tahun 2006 tersebut sehingga membuat “original intent” dari pasal-pasal pada UUD IKM UI semakin tidak jelas. Oleh karena itu, sebagai mahasiswa, pemuda-pemudi yang tercerahkan pemikirannya, sudah saatnya kita menyongsong era baru lembaga kemahasiswaan yang terang dimana hak dan kewenangan dari setiap lembaga teratur jelas pada Konstitusi yang kuat, dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Janganlah repot-repot berteriak mengajari para pemangku kebijakan yang lebih tinggi, apabila kita belum selesai memperbaiki konstitusi, dasar dari perangai kita sendiri. Ketika hal tersebut tercapai, barulah tegakan wajahmu, kepalkan jari-jarimu dan yakinkan lah dirimu bahwa engkau lah sejatinya agen perubahan yang bergerak untuk mengubah kondisi bangsa menuju masyarakat madani yang adil dan makmur.
Gery Fathurrachman
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
sosbud