Dengan disahkan nya RKUHP yang baru tertanggal 6 November 2022, dinilai Indonesia akan mengalami penurunan kebebasan Demokrasi.
Demokrasi Indonesia akan kian mengalami kemerosotan dengan adanya pasal-pasal bermasalah tersebut. Ada sebagian penilaian mencontohkan Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review UU Cipta Kerja yang disahkan tanpa proses partisipasi yang bermakna. "Tidak ada proses dialog dan deliberasi yang Demokratis".
KUHP baru ini dinilai bukti nyata bahwa pemerintah terus menjalankan proses legislasi yanh tidak demokratis, partisipatif, dan akuntabel. Dan ada juga dinilai masyarakat seperti sejumlah pasal yang bermasalah seperti penghinaan Presiden, Demonstrasi yang wajib pemberitahuan hingga pemidanaan atas kegiatan yang dianggap berbau ajaran marxisme. Ini efektif karet, dan semua bisa kena.
Dan ada ungkapan yang selama ini dianggap sebagai perbaikan tim perumus adalah mencari jalan tengah dan seperti wasit. Padahal pemerintah harusnya menegakkan Negara Hukum dengan basis Hak Asasi Manusia (HAM).
Setelah disahkan, upaya yang mungkin di tempuh oleh masyarakat sipil adalah melalui "Judicial Review" di MK.
KUHP baru ini dinilai akan membahayakan demokrasi dan perlindungan kebebasan berekspresi.
Diantara Pasal-pasal dalam RKUHP yang dinilai terkait dengan iklim Demokrasi adalah terkait penghinaan terhadap Pemerintahan dan Lembaga Negara dan Pasal tentang kegiatan menyampaikan pendapat dan unjuk rasa. Dalam draf terbaru, tulisan atau lisan menghina Pemerintahan atau lembaga Negara di pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan, atau pidana denda paling banyak kategori dua. Di ayat selanjutnya, jika delik penghinaan itu berakibat terjadinya kerusuhan di pidana paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori empat. Dengan penambahan, pasal ini dijadikan kedalam delik aduan, sehingga tidak sembarang orang bisa membuat aduan.
"Polisi tidak bisa membuat aduan orang biasa tidak bisa membuat aduan. Yang bisa membuat aduan dalam ayat berikutnya kita buat menjadi hanya pimpinan negara nya saja membuat aduan tertulis"
Seperti contoh, Penghinaan terhadap Mahkamah Agung(MA) yang bisa membuat aduan tertulis ini hanya ketua MA, artinya tidak bisa Hakim Agung, Panitera, Pejabat-pejabat MA atau sembarangan orang yang bisa membuat aduan tersebut. Juga di berikan penjelasan mengenai pembedaan dengan kritik seperti apa serta juga bagaimana pasal ini tetap didalam penjelasan 240 ini.
Terkait pasal tentang penyerangan kehormatan, harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, ada yang ingin sejak awal pasal ini di hapuskan sebab pasal serupa sudah di batalkan oleh Mahkamah Konstitusi, Pasal 134KUHP tetapi pemerintah beranggapan bahwa pasal ini harus tetap ada karena menurut Pemerintah rumusannya berbeda. Perbedaan terletak pada pasal ini bukan delik penghinaan, tetapi menyerang kehormatan, harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudian pasal ini bukan delik biasa, tapi delik aduan, artinya hanya Presiden dan Wakil Presiden saja yang hanya dapat mengadukannya ke polisi atau pihak yang berwajib bila ada perbuatan yang di anggap melanggar pasal ini dan penjelasannya di berikan sedemikian rupa.