Lihat ke Halaman Asli

Bintang Kejora dalam Politisasi Symbol

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13726599371320400062

[caption id="attachment_252286" align="aligncenter" width="547" caption="ilustrasi: cakrawalakuansing.blogspot"][/caption] Ribut-ribut soal bendera Bintang Kejora, apakah boleh atau tidak dikibarkan pada momentum 1 Juli hari ini, akhirnya terjawab. Pengamat hukum internasional Marianus Yaung berpendapat, sebaikanya Bintang Kejora tidak perlu dikibarkan pada peringatan HUT OPM ini. Mengapa? Kalau dikibarkan maka dunia akan tahu bahwa ada banyak friksi dalam kelompok perjuangan Papua merdeka. Padahal dunia internasional lebih mengharapkan adanya persatuan dalam perjuangan masyarakat Papua. Karenanya,menurut Dosen FISIP Universitas Cenderawasih ini, jika pada 1 Juli tidak ada pengibaran bendera Bintang Kejora justru pesan politiknya ke masyarakat internasional akan lebih menguntungkan posisi perjuangan masyarakat Papua di dunia internasional. http://zonadamai.wordpress.com/2013/06/28/pengamat-jika-1-juli-tak-ada-bk-pesan-politiknya-lebih-menguntungkan/ Bintang Kejora adalah symbol kebesaran dan kejayaan bagi orang Papua. Symbol kebersamaan tiap suku dan sub suku yang mendiami Tanah Papua. Karenanya, nama bintang kejora disebut di kalangan masyarakat dengan berbagai nama. Ada yang menyebutnya Bintang Fajar atau Morning Star, atau menyebutnya dalam bahasa Waropen dengan sebutan ‘Sampari’ atau ’Mak Meser’ dalam bahasa Biak, ’Yoniki’ atau ‘Hiyakhe’ dalam bahasa Sentani, dan ‘Mo Yali Filen’ dalam bahasa Yali. Namun di balik sebutan itu, ada beberapa kelompok yang menyimpan kepentingan politik. Pertama, sebagai strategi untuk meningkatkan posisi tawar pemimpin-pemimpin Papua terhadap pemerintah pusat. Dengan cara ini, soal hak asasi, politik, dan ekonomi Papua mendapatkan prioritas ketimbang sebelumnya. Kedua, untuk positioning dan rehabilitasi dosa-dosa keterlibatan politik selama Orde Baru. Ketiga, sebagai prakondisi gerakan politik untuk memperoleh kemerdekaan sebagai negara-bangsa baru, sebagaimana terlihat dalam upaya sungguh-sungguh mereka mempersoalkan status Papua sebagai bagian integral dari Republik Indonesia. Karena ada muatan politik, maka para pemilik kepentingan selalu menggunakan embel-embel “atas nama rakyat Papua”. Sebuah pertanyaan reflektif patut dihadirkan : Siapakah yang berhak mengatasnamakan penderitaan masyarakat Papua? Apakah mereka yang selama ini mengumbar janji-janji palsu tentang kemerdekaan Papua? Atau mereka yang secara nyata sedang berkarya untuk kesejahteraan masyarakat Papua? Kalau mau jujur, pilihan kedualah jawabannya. Karena kelompok yang kedua inilah yang sedang giat membangun kampung-kampung, mengurusi anak-anak lulusan SMP dan SMA untuk sekolah atau kuliah di luar Papua, bahkan hingga keluar negeri. Memperbaiki kondisi kesehatan, meningkatkan nilai jual hasil pertanian warga, dan masih sederet karya nyata lainnya. Mereka inilah yang benar-benar peduli untuk membawa Papua semakin mandiri, maju, dan sejahtera. Sebaliknya, kelompok pertama yang mengaku berjuang atas nama penderitaan orang Papua, apa yang sudah mereka perbuat? Menolak Otsus, mengkampanyekan pelanggaran HAM sementara mereka sendiri terang-terangan membunuh dan mengintimidasi orang-orang yang sedang berkarya nyata. Sebagai bangsa kita percaya orang-orang Papua sudah semakin kritis. Mereka bisa menilai siapa yang paling pantas mewakili mereka untuk membawa Papua semakin maju, agar tidak tertinggal dari daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline