Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Penangkapan Aktivis HAM Inggris

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13517993622139549480

[caption id="attachment_207097" align="aligncenter" width="475" caption="Penyambutan Presiden SBY oleh Ratu Inggris Elisabeth II di London, Rabu (31/10/2012). Foto : Detik.com"][/caption]

Polisi Scotland Yard, Inggris, menangkap dua aktivis HAM di London, Rabu (31/10/2012), ketika mereka berusaha mendekati mobil Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Keduanya dianggap mengganggu tamu kehormatan yang diundang khusus oleh Ratu Inggris untuk merayakan 60 tahun tahta Ratu Elizabeth II .

Salah seorang aktivis yang ditangkap itu bernama Peter Tatchell. Tatchell yang berkewarganegaraan Australia itu disergap Polisi saat ia coba mendekati limosin yang membawa Presiden SBY, sambil membentangkan bendera Papua Barat. Polisi yang melihat aksi Tatchell, langsung menjatuhkannya ke tanah dan membekuknya. Tachell sendiri akhirnya dibebaskan, setelah mendekam di kantor polisi selama 2 jam. Menurut Tatchell, ia melakukan bentuk protes yang sah. “Saya tak melakukan kejahatan, saya hanya memegang sebuah bendera,” kata Tachell seperti dikutip dari pinknews.co.uk, Kamis (1/11/2012).  Tatchell kemudian dibebaskan tanpa tuduhan. http://international.sindonews.com/read/2012/11/01/41/684633/coba-cegat-konvoi-sby-di-london-aktivis-ham-ditangkap

Yang menarik dari insiden ini adalah bahwa warga Inggris mengganggap penangkapan itu wajar. Seseorang yang mengganggu harus ditertibkan. Apalagi mengganggu tamu kehormatan Sang Ratu. Tak peduli seberapa urgen missi yang diemban oleh si pelaku.

Bagaimana dengan kondisi di Tanah Air?

Aksi unjuk rasa sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Kapan saja, dimana saja, terhadap siapa saja, dana tentang apa saja.Tak jarang menggunakan cara-cara di luar kepatutan. Istana Presiden menjadi salah satu tempat favorit untuk berunjuk rasa.

Pola penanganan aksi unjuk rasa, Polisi kita sudah punya protap. Tapi tak jarang mereka menjadi sasaran pelemparan batu. Jika ditertibkan, mereka bakal dicecar abis dengan macam-macam dalil. Itukah demokrasi?

Contoh sederhana yang kebetulan berkaitan dengan agenda aksi aktivis pendukung Papua merdeka di London, pekan lalu. Pada 23/10/2012 di Manokwari (ibukota Provinsi Papua Barat) terjadi aksi unjuk rasa warga yang dikoordinir para pengurus Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Aksi itu digelar untuk mendukung sidang kaukus parlemen internasional untuk Papua Barat (IPWP) di London, Inggris. Aksi itu dikhabarkan berakhir rusuh. Puluhan warga maupun aparat Polisi luka-luka terkena lemparan batu. Polisi kemudian menangkap 11 aktivis yang terlibat kerusuhan. Setelah itu, hampir selama sepekan Polisi mendapat cercaan dari berbagai pihak, mulai dari pimpinan KNPB, aktivis HAM, anggota DPR Papua, Dosen, hingga tokoh gereja. Bahwa Polda Papua bla…bla…bla.

Ini contohnya : http://www.komisikepolisianindonesia.com/aneka/read/10891/kapolda-papua-bantah-pakai-peluru-tajam.html.

Baca juga: http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20080320030720

Jika Inggris adalah Negara demokrasi dan aksi unjuk rasa adalah manifestasi dari hak demokrasi warganya, apakah tindakan polisi Inggris menertibkan pelaku aksi tadi dapat dianggap sebagai tidak demokratis?

Mari kita belajar dari negara maju seperti Inggris tentang kepatutan sebuah aksi unjuk rasa, agar negeri ini semakin dewasa dalam berdemokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline