[caption id="attachment_198932" align="aligncenter" width="540" caption="sumber : merdeka.com"][/caption]
Adakah kaitan antara prestasi olahraga dengan harkat dan martabat sebuah bangsa? Jawaban sederhananya: ada. Ajang Olimpiade misalnya, medali bukanlah satu-satunya tujuan. Disana gengsi Bangsa dan Negara juga dipertaruhkan.
Pada Olimpiade ke-14 di London, (waktu itu Indonesia baru beberapa tahun merdeka) kehadiran atlet Indonesia ditolak oleh Inggris selaku tuan rumah. Alasannya, prestasi olahraga Indonesia waktu itu belum layak masuk ajang Olimpiade. Alasan sebenarnya bersifat politis. Inggris adalah sekutu Belanda. Belanda kala itu belum ikhlas atas kemerdekaan Indonesia.
Dari pihak Indonesia, Olimpiade London saat itu memiliki nilai strategis, yakni mau menunjukan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia kepada dunia. Maka, betapa tersinggungnya para Pemimpin Indonesia waktu itu tat kala keinginan untuk ikut Olimpiade, ditolak mentah-mentah. Harga diri bangsa Indonesia seakan dilecehkan.
Berangkat dari ketersinggungan itulah, tahun 1948 PORI (Persatuan Olahraga Indonesia) menggelar konferensi daurat di Solo dan memutuskan untuk menggelar Pekan Olahraga Nasional (PON), sebagai penanda bahwa Indonesia itu ada. Ruh kejuangan seperti itulah yang selalu menjadi daya hidup PON dari masa ke masa.
PON pertamapun digelar 9 September 1948. PON menjadi pertemuan para atlet untuk membulatkan tekad, menggalang solidaritas dalam semangat menggempur Belanda agar meninggalkan bumi Indonesia. Menurut Maulwi Saelan, dalam bukunya "Kesaksikan Wakil Komandan Tjakrabirawa", pada PON I para atlet mengokohkan tekadnya sebagai patriot bangsa yang siap bertempur membela dan mempertahankan kemerdekaan.
"PON ini sekaligus membuktikan bahwa olahraga kita mampu berbicara, bersikap patriotik, dan ikut menjalankan peran strategis dalam revolusi kemerdekaan," tulis Maulwi Saelan.
PON dan Masalah Papua
Penolakan Inggris, erat kaitannya dengan masalah Papua. Selaku sekutu Belanda, Inggris tentu mendukung Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya di Tanah Papua. Konferensi Meja Bundar yang diteken di Den Haag pada tgl 22 Desember 1949 berulangkali diingkari Belanda. Yaitu, seluruh bekas jajahan Belanda adalah wilayah Republik Indonesia yang harus diserahkan ke dalam pangkuan NKRI, kecuali penyerahan Papua Barat akan dilakukan 2 (dua) tahun kemudian. Namun faktanya, sampai tahun 1963 Belanda terus bercokol di Bumi Cenderawasih, bahkan diam-diam mempersiapkan berdirinya ‘negara West Papua’ terlepas dari NKRI.
Menilik riwayat PON sebagaimana diuraikan di atas, jelas bahwa lahirnya PON ada kaitannya dengan status politik wilayah Papua. Pertanyaannya, setelah Papua berhasil dipertahankan tetap dalam bingkai Negara Kesatuan RI, bagaimanakah prestasi olahraga atlet Papua di ajang PON?
[caption id="attachment_198933" align="aligncenter" width="450" caption="atlet dayung asal Papua meraih emas. (Foto: JUBI)"]
[/caption] Dari data yang ada, prestasi terbaik mereka adalah urutan ke-5, yakni pada PON XIII. Setelah itu, posisinya terus merosot. Pada PON XIV Papua urutan 6, PON XV Papua urutan 7, PON XVI Papua urutan 7, PON XVII Papua urutan 11. Pada PON XVIII di Riau tahun ini, apakah Papua harus menduduko urutan ke-12?