Lihat ke Halaman Asli

OPM dan Kejahatan Agresi

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13414574281648130262

[caption id="attachment_186320" align="aligncenter" width="503" caption="ilustrasi:mediaindonesia.com"][/caption]

Sudah berita dan ulasan yang menyajikan tentang gejolak Papua. Gejolak itu tidak lepas dari kontroversi soal sejarah politik masa lalu, khususnya tentang status politik Tanah Papua yang telah menuai perdebatan panjang dan lama di berbagai forum.

Hasil akhirnya sebagaimana kita sudah sama-sama mafhum adalah Papua akhirnya menjadi bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun ternyata perdebatan tidak berhenti sampai disitu. Gejolak Papua yang terjadi saat ini, diakui atau tidak adalah bagian dari riak perdebatan dimaksud.

Piranti hukum

Opini yang terus berkembang (atau tepatnya dikembangkan) hingga hari ini adalah bisa atau tidaknya piranti hukum internasional yang mengesahkan integrasi Papua ke dalam NKRI digugat kembali. Piranti hukum dimaksud adalah RESOLUSI Majelis Umum PBB No. 2504/IV tanggal 19 November 1969 yang mengesahkan pelaksanaan PEPERA.

Pertanyaannya, piranti yang manakah yang mesti digugat : PEPERA atau RESOLUSI PBB, atau kedua-duanya? Kemanakah gugatan itu akan ditujukan : PBB atau Mahkamah Internasional, atau ada institusi lain lagi yang berhak mengadilinya?

Pertanyaan berikutnya (dan saya kira ini yang paling pelik), siapakah atau lembaga manakah yang dianggap memiliki kapasitas memadai untuk melakukan gugatan itu?

Kendati jawaban atau tepatnya perdebatan atas sederet pertanyaan di atas belum mengarah pada satu kesimpulan akhir yang dinilai cukup kuat, namun di lapangan ada kelompok-kelompok yang terus bergerak dengan keyakinannya sendiri bahwa Papua bisa dilepaskan dari NKRI. Demi keyakinan itu, apapun dikorbankan, termasuk nyawa sendiri dan nyawa sesama orang Papua.

Korban 'ajaran'

Kasus terkini antara lain insiden yang menimpa seorang Kepala Kampung Sawiyatami, di perbatasan Wembi, Kabupaten Keerom bernama Johanes Yanupron. Kendati kasus ini masih didalami, namun tudingan kepada Lamberth Pekikir (Pimpinan OPM yang bermarkas di wilayah Perbatasan RI-PNG) sebagai pelaku penembakan tampaknya sulit dibantah. Keterlibatan Lambert Pekikir itu diperkuat oleh maklumat yang dikeluarkannya menjelang 1 Juli 2012 (Hari lahir OPM) yang meminta warga di ‘wilayah kekuasaannya’ (Keerom dan sekitarnya) untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora serta membunyikan mercon. Warga bahkan diperintahkan untuk tidak keluar rumah dan tidak melakukan aktifitas hariannya. Tampaknya korban yang adalah juga anak seorang ondoavi itu telah melanggar maklumat itu.

http://hankam.kompasiana.com/2012/07/02/kelompok-separatis-papua-masih-terus-beraksi/

Lambert Pekikir adalah satu dari sebagian kecil orang Papua yang meyakini bahwa integrasi Papua belum final. Ia tidak pernah belajar soal hukum internasional, karena memang wilayah hutan adalah wilayah operasinya.Tapi sangat mungkin ia pernah mendengar ‘ajaran’ yang membangkitkan semangat dari seorang dosen Uncen, Jayapura Yusak E. Reba, SH, MH bahwa OPM bisa menggugat Pepera ke Mahkamah Internasional, asalkan ia bisa menguasasi sebagian wilayah; mempunyai tanda penganal yang jelas; mempunyai pemimpin yang jelas; dan mendapat dukungan rakyat.

http://hukum.kompasiana.com/2011/08/19/tpn-opm-bisa-gugat-pepera-1969-di-mahkamah-internasional-asalkan/

Lambert Pekikir mungkin juga mengamini ajaranF. Kareth, SH, MH dari Unpad Bandung bahwa Indonesia telah menjajah Papua, dan karenanyaIndonesia berkewajiban mempersiapkan Papua menuju kemerdekaan.

http://hukum.kompasiana.com/2011/08/19/tpn-opm-bisa-gugat-pepera-1969-di-mahkamah-internasional-asalkan/

13414580241846895934

Karena kekurang pahamnya akan ketentuan hukum internasional, Lambert dan pengikutnya lupa bahwa Statuta Roma 1948 mengatur tentang kewenangan Mahkamah pidana Internasional hanya untuk mengadili 4 jenis pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan kemanusiaan, kejahatan pemusnahan etnis (genocide), kejahatan perang (war criminal) dan kejahatan agresi (invasi). Sedangkan Pepera tidak masuk dalam empat jenis pelanggaran HAM berat.

Pepera juga tidak bisa digugat melalui hukum nasional, karena Indonesia tidak mengakui kejahatan agresi sebagai pelanggaran HAM berat. Dalam UU RI No.26 Tahun 2000 tentang HAM, Indonesia hanya mengadili dua jenis pelanggaran HAM, yaitu kejahatan kemanusiaan dan kejahatan genocide, sedangkan kejahatan perang dan kejahatan agresi atau perluasan wilayah tidak menjadi kompetensi pengadilan HAM di Indonesia.

Kini Lambert dan pengikutnya mungkin harus berurusan dengan proses penegakan hukum terkait tewasnya Kepala Kampung Sawiyatami,Johanes Yanupronpada 1 Juli lalu. Bahkan mungkin perbuatan Lambert cs itu bisa saja dikatergorikan sebagai kejahatan agresi.Jika itu terjadi, maka bukan kemerdekaan yang akan didapatnya, melainkan sisa hidup yang harus dijalaninya di balik terali penjara. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline