[caption id="attachment_326920" align="aligncenter" width="489" caption="Jurnalis SBS TV Australia sedang mewawancarai Menlu RI pada Mei 2014. (sumber: Youtube)"][/caption]
Kedaulatan hukum kita diobok-obok Australia, bukan hal baru. Sudah sangat sering terjadi. Indonesia pernah menarik Dubesnya dari Australia sebagai reaksi atas ulah Aussie ini. Yang terakhir ini, ada kaitannya dengan dua jurnalis Prancis yaitu Robert Charles Dandois dan Valentina Burrot yang pada Agustus lalu tertangkap di Wamena. Dalam pemeriksaan, mereka ternyata masuk ke Papua secara ilegal. Karenanya saat ini mereka sedang menjalani proses hukum di Polda Papua.
Kedua jurnalis Prancis itu ketahuan melakukan peliputan di Papua denganmenggunakan visa turis. Dalam kamera video mereka ditemukan hasil wawancara dengan tokoh-tokoh OPM. Pada saat ditangkap di Wamena pada tanggal 6 Agustus 2014, kedua wartawan asing tersebut sedang dibonceng motor oleh dua orang anggota OPM yang menjadi DPO Polda Papua.
Pemerintah Prancis sudah mengklarifikasi bahwa kedua jurnalis itu benar-benar berprofesi sebagai jurnalis. Tetapi toh, pelanggaran sudah terjadi sehingga kedua harus mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum. Kedua warga negara Prancis itu melanggar UU Keimigrasian Nomor 6 Tahun 2011 Pasal 122 huruf a tentang penyalahgunaan izin tinggal. Keduanya sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Pemerintah Prancis bisa menerima sanksi hukum itu, dan kedua jurnalis tersebut sudah menyampaikan permohonan maaf tertulis pada pemerintah Indonesia. Permintaan maaf tersebut disampaikan melalui kuasa hukumnya Aristo Pangaribuan. Menurut Aristo, kliennya berjanji tidak menggunakan informasi apapun yang mereka peroleh di Papua dan bahwa mereka tidak melakukan liputan yang berbau propaganda.
Uniknya, Prancis tidak lagi mempermasalahkannya, tetapi malah Australia yang brisik. Media Australia, Sidney Morning Herald hari ini menulis, bahwa Kantor Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop secara ekspilisit mendukung kelompok Senat yang menuding penahanan wartawan Prancis di Papua Barat adalah tindakan yang mengusik kebebasan pers. Bahwa kebebasan pers di Papua Barat telah dibatasi ketat oleh pemerintah Indonesia.
Kelompok senat yang dimaksud adalah kelompoknya Richard Di Natale dan Bob Brown, tokoh dari Green Party yang selama ini gencar mendukung gerakan separatisme di Papua. Tokoh yang satu ini pernah menginisisi pembentukan Kaukus Parlemen untuk Papua Barat (International Parliament for West Papua / IPWP) kawasan Asia Pasifikyang diluncurkan di Canberra tanggal 24 Februari 2011. IPWP menjadi wadah bagi anggota parlemen dari berbagai negara di Asia Pasifik untuk mensuport gerakan Papua merdeka. Anggotanya antara lain Powes Parkop dari PNG, Rahl Regenvanu (Vanuatu), Chaterine Delahunty (New Zeland).
Persoalannya, kebebasan pers dan pelanggaran aturan keimigrasian itu adalah dua hal yang berbeda secara substantif. Kenapa dicampur adukkan? Apakah seorang jurnalis atas nama kebebasan pers boleh menabrak aturan keimigrasian di semua negara? Tentu tidak. Prinsip ini berlaku umum di negara manapun di muka bumi ini. Persoalan ini erat kaitannya dengan kedaulatan hukum sebuah negara yang harus dihormati oleh negara lain. Jika jurnalis dari Indonesia mau melakukan peliputan ke Australia, harus mengajukan visa, mengikuti aturan hukum yang berlaku di negara itu, dst. Artinya, negara Australia juga punya kedaulatan hukum yang mesti dan harus dihormati oleh oleh bangsa lain. Begitupun sebaliknya.
Contohnya bulan Mei 2014 seorang jurnalis Australia bernama Mark Davis dari SBS TV ingin meliput di Papua. Ia mengajukan visa dan mendapatkannya dari Pemerintah Indonesia. Lalu ia ke Papua selama k.l. seminggu, dan menayangkan hasil liputannya di media yang mengirimkannya ke Papua serta menjamin kebenaran profesinya. Hasil liputan Mark Davis itu berjudul ‘West Papua’s New Dawn’. Suatu bukti bahwa Pemerintah Indonesia menghormati kebebasan pers dan menghargai tugas para jurnalis, termasuk jurnalis asing yang mau ke Papua. Tetapi tolong hormati juga hukum yang berlaku di negeri ini.
Pemerintah Prancis sangat memahami tindakan Pemerintah Indonesia, demi tegaknya kedaulatan hukum negara ini. Apalagi prinsip ‘kedaulatan hukum’ itu pertama kali dicetuskan oleh seorang ahli kenegaraan berkebangsaan Prancis Jeans Bodin (1539-1596). Ajarannya mengatakan bahwa kedaulatan adalah atribut sebuah negara, dan menjadi ciri khusus dari negara.
Bahwa kelompok senat Australia itu merasa prihatin dengan dua wartawan Prancis yang ditahan, tentu boleh-boleh saja. Bahkan para jurnalis di Indonesia pun lebih prihatin dari kelompok senat Australia atas dasar solidaritas rekan-rekan seprofesi. Tapi soal pelanggaran hukum, ada sanksinya. Tidak bisa diselesaikan dengan aksi solidaritas. Karena Indonesia ini adalah sebuah negara yang berdaulat, tanpa adanya kedaulatan hukum, kata jeans Bodin dari Prancis tadi, Indonesia akan kehilangan atributnya sebagai sebuah negara yang sama dan sejajar dengan negara Australia.