Pelayanan kesehatan di negeri ini, sungguh kompleks masalahnya. Yang saya maksud adalah pelayanan untuk rakyat kita yang miskin, yang untuk berobat mengandalkan uluran tangan pemerintah untuk mendapatkannya secara cuma-cuma alias gratis.
Bagi orang berduit, tentu tak ada masalah. RS swasta bertebaran, dokter ahli siap membantu, ruang ber-ac, perawatan kelas hotel bintang. Asal sanggup bayar. Tidak puas? Sila pigi negeri jiran, entah singapore atau penang, boleh pilih.
Jokowi bagi-bagi kartu sakti. Kartu Indonesia Sehat, KIS, yang sebenarnya tak-lain-tak-bukan adalah BPJS Kesehatannya program SBY. Tak jadi soal, KIS lanjut saja. Bagikan merata ke semua rakyat miskin. Tak lama lagi, semua mereka akan pegang itu kartu sakti.
Sudah selesai?, wah, masih jauh dari beres. Pelayanan kesehatan bukan cuma bagi kartu. Coba kita urut dari pangkal ke ujung.
Si Polan, dengan KIS di tangan datang ke puskesmas setempat. Antre bersama yang lain, ia harus berhadapan dulu dengan petugas loket, lalu dipanggil oleh perawat dan diperiksa oleh dokter puskesmas.
KIS belum dapat menjamin kesungguhan kerja petugas puskesmas, perawat, dokter puskesmas yg cuma digaji dengan standard PNS. Itu kalau petugas puskesmasnya sudah PNS. Berapa banyak mereka yg cuma honorer, sehingga harus nyambi juga usaha di luar, sehingga tak punya etos kerja seperti jokowi dan menterinya yg digaji tinggi dengan fasilitas wah dari negara.
Peralatan medis puskesmas di banyak daerah, tentu pas-pasan. Dilayani oleh dokter umum yg karena gajinya yg juga pas-pasan, biasanya praktek juga di rumahnya, pagi sebelum ke puskesmas, dan sore hari setelah sang dokter bobok siang sejenak. Hingga larut malam juga lho, kalau pasiennya banyak.
Keadaan itu membuat pelayanan kesehatan di puskesmas juga ya pas-pasan saja, kalau tidak bisa dibilang masih serba kurang memuaskan.
KIS belum menjangkau hal tersebut. Masih jauh. KIS cuma kartu gratis berobat.
Dengan peralatan dan tenaga kesehatan seperti itu, tentu kita tidak bisa berharap pelayanan yang memuaskan apalagi kalau penyakit si Polan, ternyata cukup rumit. Misalnya, memerlukan pemeriksaan rontgen, atau penyakit yang memerlukan endoskopi. Janganlah pula kalau diperlukan ct-scan atau MRI, waduh waduh, jangankan alat yang begitu canggih, di beberapa puskesmas di pedalaman bahkan masih banyak yang belum punya timbangan bayi. Malah puskesmas di pedalaman masih banyak yang hanya mengandalkan stetoskop dan tensi meter saja.
Kalau si Polan cuma kena flu biasa, atau diare, atau penyakit ringan yang lain, KIS memang betul-betul sakti. Setidaknya sakti untuk meringankan beban agar tidak usah mengeluarkan uang membeli obat flu dan batuk yang ada di warung.
Memang ada sistim rujukan, bila perlu si Polan bisa dirujuk ke rumah sakit kabupaten. Bahkan rumah sakit propinsi. Tapi masalahnya tidak sesederhana kita mengatakannya. Si sakit harus menyewa kendaraan membawanya ke kota kabupaten bersama keluarganya yang mengantar. Di kota kabupaten, mereka akan terlantar di lorong-lorong rumah sakit, dan juga membutuhkan makan, bergantian pulang ke desa dan kebutuhan lain yang harus dibayar dengan duit bukan dengan menunjukkan KIS.
Mungkin banyak pembaca belum tahu, bahwa tidak semua obat ditanggung oleh KIS. Obat yang berada diluar daftar KIS harus dibeli sendiri oleh pasien. Begitu juga peralatan yang berada diluar daftar jaminan KIS. Di rumah sakit kabupaten atau propinsi, si Polan akan menghadapi persoalan yang hampir sama. Perawat yang ketus (khas rumah sakit pemerintah), petugas kesehatan yang kerja asal-asalan (juga khas rumah sakit pemerintah) dan dokter ahli misalnya, yang bekerja sering terlambat, yang semua disebabkan gajinya yang kurang.
Sebagai perbandingan, pembaca bisa bayangkan bahwa bila seorang dokter bedah melakukan operasi usus buntu di rumah sakit swasta, ia bisa menarik honor 5 juta rupiah. Dan bila operasi yang sama untuk pasien KIS di rumah sakit pemerintah, karena pasien kelas III, si dokter tidak dibayar (semua orang pasti bilang, anda kan sudah digaji oleh pemerintah).