Lihat ke Halaman Asli

Germanus Loy Teku

Segala Sesuatu Ada Waktunya

Chrome OS Flex Selamatkan uangku sampai Jutaan Rupiah

Diperbarui: 26 Februari 2022   08:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak tiga tahun yang lalu saya berhenti menggunakan laptop DELL Inspiron Series 3000. Laptop ini, kalau tidak salah, saya beli akhir tahun 2014 atau awal tahun 2015. Sayang sekali laptop ini jadi rusak karena keseringan gonta ganti sistem operasinya antara Windows 10 dan Linux . Alhasil setelah pilihan terakhirku jatuh pada Windows 10, laptop ini akhirnya crash.

Saat dihidupkan layarnya gelap saja dengan logo DELL dan dua pilihan F2 dan F12 di sudut kanan bawah. Apapun yang dipilih, Windowsnya tak muncul-muncul.  Terakhir kali kuminta temanku mengeceknya saat dia datang berkunjung. Dia juga tak bisa atasi masalah ini. Aku menyerah dan menganggap laptopku sudah mati.

Sebagai barang rusak laptop ini seharusnya kubuang. Apalagi penggantinya ternyata lebih kencang, lebih tipis, bahkan layarnya bisa dibentang hingga 180 derajat.Tetapi ternyata hatiku masih dekat dengan DELL Inspiron.Sudut-sudutnya yang tegas serta perawakannya yang kokoh seperti berotot adalah alasanku mempertahankannya. Statusnya barang rusak yang berharga. Selain itu kupikir-pikir kalau nanti punya rumah sendiri, laptop ini bisa jadi kenang-kenangan yang bisa kupajang di deretan koleksi perlengkapan elektronikku, bersebelahan dengan Blackberry Z10.  

Laptop baruku cantik sekali. Acer Swift 3. Layarnya bisa dibuka sampai benar-benar rata. Kadang-kadang saya "pamer" kebolehannya dengan membuatnya terbentang seperti TV saat menonton film. Lalu musibah datang. Acer Swift 3 ternyata menyimpan kelemahan serius di persambungan engsel dan cangkang layar. Bilah cangkang layarnya ternyata cuma ditempel pada engselnya dengan lem. Alhasil, setelah direntang berulang-ulang, seluruh lapisan lem tak mampu menahan tarikan dan dorongan. Bilah cangkang layar akhirnya terlepas.

Agar tetap bisa menggunakannya, saya membuka bilah layarnya sedemikian rupa sampai pada sudut pandang yang nyaman untukku, lalu area persambungan badan laptop dan layar kubalut dengan isolasi. Penampakannya seperti sabuk. Untuk menjaga agar layarnya tidak terlipat ke belakang kusandarkan punggung layar pada kardus sepatu yang ditempel kokoh di atas tripleks persegi panjang. Kardus itu cukup tinggi dan kuat menahan beban layar yang jatuh ke belakang.  Kini Laptopku tetap bisa kugunakan seperti biasa. Cuma kali ini tidak bisa berhenti kangkang.

Harus kuakui, menggunakan laptop dengan cara seperti itu sangat melelahkan. Apalagi ketika harus memindahkannya. Perlu extra hati-hati. Pada titik ini saya ingin punya laptop baru.

Berhubung pendapatanku sejak corona baru di level survival mode, saya berniat untuk menabung dulu hingga bisa beli laptop baru. Chromebook tampaknya cukup menarik hatiku. Harganya mulai dua jutaan, dan cocok dengan kebutuhanku.

Sampai beberapa bulan yang lalu saya tetap berkeyakinan bahwa laptop dengan segenap aplikasi grafis yang hebat adalah yang aku butuhkan. Pikirku saya bisa desain apapun dengan software itu. Ternyata tidak seperti itu. Apa yang kubutuhkan untuk mengolah media atau mendesain sesuatu sudah ada di smartphone. Terdapat ratusan aplikasi pengolahan gambar dan video ada di sana. Desain grafis tingkat tinggi ternyata bukan duniaku. Saya cuma terpesona, dan sekian lama saya percaya itulah keahlianku. Ternyata yang kubutuhkan sesuatu yang sederhana saja. Sayang!

Yang saya butuhkan adalah sebuah smartphone yang bagus dan sebuah keyboard mechanical untuk mengetik. Mengetik di keyboard mechanical itu sangat menyenangkan tetapi jika sambil menatap layar kecil tentu bukan pengalaman yang memuaskan. Saya butuh layar yang lebih besar yang bisa terhubung dengan keyboard mechanichal Bluetooth dari Logitech yang kini sedang kumiliki.

Sayangnya fitur Plug And Play keyboard mekanikalku hanya bisa berfungsi jika togglenya ditancap pada port USB. Smartphoneku tidak memiliki peluang itu, tapi ACER kangkangku bisa melakukannya. Tapi tentu saja, sebuah laptop yang bisa dibawa-bawa pasti lebih nyaman.
Chromebook Samsung adalah idamanku. Ringkas, murah, bisa terhubung dengan Keyboarku serta fitur yang cukup untukku.

Beberapa minggu yang lalu Ketika Chrome Flex OS meluncur, aku mulai menimbang-nimbang. Sistem operasi ini ternyata bisa dijalankan secara berdampingan dengan Windows OS ataupun Machintosh. Lebih menariknya lagi , Chrome Flex OS bisa dijalankan dari Flashdrive. Bahkan laptop dengan spesifikasi yang lebih tuapun ternyata bukan halangn bagi Chrome Flex untuk beroperasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline