Lihat ke Halaman Asli

Niko Nababan

Manusia biasa yang berproses menjadi seorang guru

Puisi | Sebuah Cinta di Bulan Juli

Diperbarui: 8 Juli 2019   04:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Entah bagaimana aku mulai mengenal sebuah cinta. Saat itu, kesepian semakin jauh dari keramaian. Petangungjawaban yang disebutkan, tak kunjung aku seruput. Pahit nasib mengantarkanku dalam lingkaran para jelata yang menentang maut.

Catatanku basah oleh air mata. Berkali-kali kuseka, bersama luka yang merabas dalam genangan. Terlalu sering tawaku membisu oleh rasa takut. Gemetar di tubuh kian terasa tatkala raut amarah singgah dikepala.

Aku mengetahui namun aku tidak mengenal. Cinta yang kuperlukan sebagai pelengkap hidup sekalipun, tidak dapat aku merasakannya. Namun, itu dalah cinta yang keliru. 

Saat aku menangis. Ia juga ikut menangis. Ia meneteskan air mata lebih dari yang kumiliki. Aku basahi pipi. Ia basahi bumi. Aku meringkuk dalam penyesalan. Cinta itu telah kutemukan.

Untuk apa lagi menetes sepi di bawah kelopak mata, jika mentari masih akan kembali. Untuk apa lagi memendam sunyi di dalam hati, jika embun masih merimbun di malam hari.

Waktu bukan beranjak dan pergi. Hanya sejenak belajar mencintai. Aku tidak boleh lalai sebab keliru datang dari segala penjuru. Pernah sekali, kusisipkan cemburu diwajah. Namun semua sirna, oleh rindang tetes hujan di bulan Juli.

Palembang, 7 Juli 2019

dok: kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline