Tahun depan Depok akan menyelenggarakan pemilihan walikota baru periode 2015 – 2019. Berbagai nama mulai mencuat sebagai bakal calon walikota. Salah satu yang paling menarik perhatian adalah dari calon independen dengan munculnya nama JJ Rizal. Siapakah beliau?
Beliau merupakan seorang sejarawan lulusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra (Kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia. Dalam kariernya sebagai sejarawan, beliau telah menghasilkan banyak tulisan yang menyoroti sejarah kontemporer Indonesia hingga sejarah lokal Betawi-Jakarta. Beliau juga dilibatkan sebagai sejarawan dalam tim investigasi dalam kasus kerusuhan besar Makam Mbah Priok di Jkarta Utara. Selain kiprahnya sebagai sejarawan, beliau juga mendirikan Penerbit Komunitas Bambu (Kobam) yang secara khusus menerbitkan buku bertema budaya dan humaniora.
Nama beliau mencuat sebagai bakal calon walikota Depok secara indendepen lewat dukung banyak warga melalui berbagai media terutama media sosial. Sebagai bentuk keseriusannya dalam menaggapi dukungan tersebut, Beliau melakukan pertemuan dengan para relawan pendukung. Yang pertama pada tanggal 30 agustus 2014 di Permata Regency Sektor Jade yang lalu.
Pertemuan berikutnya berlangsung di Juliette Cafe pada hari Sabtu, 6 September lalu berupa dialog yang dimoderatori Firselly Utami. Dalam dialog bertopik : “Menuju Depok Baru Edisi 1 : Gagasan Seorang JJ Rizal.”, beliau memberikan pemaparannya mengenai kota Depok dan visinya.
Pertama, adalah kota Depok sebagai penyangga. Depok merupakan kota yang mandiri, secara historis Depok adalah tempat transit antara Kerajaan Sunda Penjajaran dengan pelabuhan Sunda Kelapa. Kemudian perumnas pertama didirikan di kota Depok. Sampai tahun 1980an Depok berkembang menjadi tempat pemukiman dan kemudian cenderung menjadi kota kediaman. Orang tinggal Depok namun beraktivitas di Jakarta, Depok hanya menjadi tempat untuk tinggal saja. Hal ini menurutnya dapat menimbulkan kurangnya kesadaran warga untuk merawat kota Depok.
Kedua, Kota Depok sebagai kota Multikultural. Keberagaman sudah dimulai sejak abad 17-an dimana Cornellis Chastelein membawa orang dari berbagai daerah untuk mengembangkan kota Depok. Bukti lainnya adalah banyak terdapat gereja-gereja tua bekas peninggalan Kolonial Belanda. Kehadiran Universitas Indonesia juga menjadi penguat Depok sebagai kota yang multikultur. Beliau mengandaikan Universitas Indonesia sebagai mikrokosmos-nya Indonesia. Sehingga menurut beliau merupakan hal yang keliru jika ada usaha untuk memaksakan kepercayaan dan etnis tertentu di kota Depok. Beliau juga mengkritisi jargon “Kembalikan Jati Diri bangsa dengan makan dan minum dengan tangan kanan.” Yang dinilainya membunuh multikulturalisme di kota Depok.
Ketiga, Depok sebagai kota Pohon. Beliau memaparkan, Chastelein memilih kota Depok dibandingkan kota lain karena banyaknya taman produktif yang tumbuh di depok ketika itu. Sehingga Jakarta dalam rancangan pertamanya sempat mencanangkan kota Depok sebagai green belt atau ruang hijau yang melingkari kota. Namun kini sulit menyebut demikian sebab taman kota di Depok yang tersedia hanya terdapat di wilayah Universitas Indonesia. Penulis juga melihat fenomena yang sama. Pada awal tahun 2000-an, Jakarta banyak memiliki kebun yang terdapat di kanan-kiri jalan Margonda Raya. Namun saat ini, kebun-kebun tersebut telah disulap menjadi Mall dan Apartemen.
Keempat, Depok sebagai kota Biru karena Depok dialiri oleh 2 sungai dan 24 situ. Sungai dan Situ tersebut bermanfaat untuk masyarakat sebagai sumber protein dan air. Namun sayangnya mayoritas dari situ-situ tersebut tidak terurus. Kalaupun ada, seperti Situ Pengasinan. Komunitas hijau Depok yang mengurus bukannya diurus Pemerintah Depok.
Untuk mengembalikan identitas historis kota Depok tersebut, beliau memaparkan beberapa gagasan utama. Antar lain evaluasi rancangan tata ruang kota. Menurut Rizal, banyak bangunan yang berdiri dinilai tidak lolos audit lingkungan. Gagasan lainnya adalah reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat sebagai pengawas birokrasi itu sendiri. Beliau mencotohkan reformasi birokrasi yang dilakukan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahok.
Kemudian dalam pengelolaan wilayah, menurut Beliau hal paling penting adalah kebijakan yang membuat orang merasa “dimanusiakan” ketika tinggal di dalamnya. Beliau mencontohkan dengan walkota Surabaya, ibu Risma yang berupaya mengembalikan kota Surabaya dengan menstimulus penduduknya untuk merasa ‘dimanusiakan” ketika tinggal di dalamnya. Dalam praktiknya, Beliau memaparkan “memanusiakan” warga Depok dapat dimulai dengan penyediaan trotoar untuk pejalan kaki, penyediaan ruang hijau terbuka, dan merawat situ. Hal ini diharapkan dapat membuat warga Depok tinggal di dalamnya.
Dari paparan tersebut, penulis melihat pandangan kritis yang dimiliki JJ Rizal dilatar belakangi profesinya sebagai sejarawan yang memahami pola perkembangan kota Depok secara koheren melalui penulisan-penulisannya. Kota Depok membutuhkan orang-orang yang visioner yang mampu membawa Kota Depok ke arah yang lebih baik. Sehingga diharapkan dengan munculnya potensi calon pemimpin yang memiliki latar belakang profesional, mampu menyaingi mereka yang berlatar belakang politik sehingga kota Depok dapa ‘diurus’ dengan lebih baik dan profesional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H