Lihat ke Halaman Asli

Kupluk goes to Madinah (Part 1)

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13773318331293946386

[caption id="attachment_283081" align="alignleft" width="300" caption="dok.pri"][/caption]

Kotak--Kotak--Kotak

--Madinah, kota cahaya ini ditata dengan  simetris dan teratur. Blok-blok bangunan di sekitar Masjid Nabawi dan perumahan-perumahan penduduknya mengingatkanku pada  permainan lego. Kotak-kotak-kotak dan kotak. Saking begitu eksotiknya bangunan kotak-kotak-kotak dan blok-blok perhotelan, serasa hidup dan berjalan di miniatur kota dalam kotak kaca. Blok-blok itu dipecah oleh jalan-jalan yang saling bersimpangan secara simetris. Namun umumnya  jalan-jalan di kota Madinah dibuat mepet dengan bangunan dan tidak lebar.  Tak  perlu membayangkan jalan-jalan sekelas Jalan Soedirman-Thamrin-Gatot Soebroto yang rata-rata dapat menampung 3-4 kendaraan dalam satu lajur. Jalan Di Madinah atau Mekkah umumnya dibuat  lebih sempit dengan maksud untuk menghalau panas dengan  memaksimalkan fungsi blok-blok hotel yang tinggi untuk menciptakan bayangan matahari. Selain itu juga menciptakan sirkulasi udara yang lebih adem. Tentu saja kepentingan ini tak lain dan tak bukan untuk membuat nyaman para jamaah yang berjalan dibawahnya.

Benar, negeri Arab yang secara geografis beriklim gurun itu ternyata mampu merekayasa siklus  alam dengan bantuan alam itu sendiri. Maka, walaupun Madinah minim sekali pepohonan, kita jarang merasa kepanasan atau berkeringat.  Nah, awalnya aku sempat merasa bimbang plus pusing  membayangkan suasana di negeri Arab itu bakal  gerah dan ruar biasa panas. Tahu sendiri iklim di Indonesia seperti apa hawanya. Apalagi sebagai perempuan, kebutuhan untuk thaharah dua kali lebih repot dibandingkan kaum lelaki. Secara personal, aku sangat bermasalah dengan lembab dan keringat. pokoknya serba  tak betah. Jika  berkeringat atau lembab sedikit musti ganti. Tak urung, satu koper gede itu isinya kebanyakan baju gantiku semua.

Nah, surprise! ternyata, Hari-hari di Madinah itu  malah jarang sekali berkeringat dan tidak merasa lembab. Padahal cuaca  panas dan matahari terik tak terkira. Alhasil baju ganti sebagian besar nganggur dalam  koper. Selain didukung oleh suhu udaranya yang lebih dingin dibandingkan di Mekkah, keutamaan negeri Madinah yang istimewa itu adalah mutlak karunia Allah SWT. subhanallah.

Cadas-cadas hitam, kecoklatan, kekuningan bergelung dengan cuaca panas  kering yang sebagian besar tanpa awan, dan iklim subtropis. Tapi hampir di siang menyengat, tubuh kita secara ajaib mendingin, hangat, sweatless, hampir tanpa keringat. bukan karena AC, kipas angin atau penyejuk ruangan yang mutlak dirancang hampir di semua bangunan bangunan di  Madinah dan Mekkah. Ada suatu metabolisme tubuh unik yang terjadi ketika masuk di bangunan megah nan akbar ini, menghangat dengan sendirinya dan kemudian mendingin. Kupikir secara logika ini lebih dikarenakan kondisi spiritual kita yang merasa damai dan aman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline