Lihat ke Halaman Asli

Bu, Kenapa Aku Tak Boleh Nikah?

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13482860201810297730

[caption id="attachment_213772" align="aligncenter" width="300" caption="foto:gentelmanplayer.wordpress.com"][/caption] ‘ibu ga setuju mb” sms seorang kawan padaku suatu malam ‘kenapa?” balasku ‘ibu bilang ga bisa kalo ga sama. dia beda dengan keluarga besarku, bukan orang NU!” Aku nyengir kuda. “Lha terus ditolak aja gitu, hanya gara-gara dia bukan orang NU?" simpulanku ‘iyaa, sebenarnya berat tapi mo bagaimana lagi? Semua keluargaku ga setuju’ Diujung sini aku Cuma ngelus dada, cape deeeeh… Aku coba menyikapi bijak, ‘nduk, yang mo menikah itu kamu, apa ga bisa diobrolin lagi sama orangtua. Masa hanya gara-gara bukan NU aja ditolak. Mencari suami itu mencari pemimpin, imam kamu. Yang akan mencintai dan nemenin kamu seumur hidup. Emangnya kalo bukan NU ga jaminan masuk surga? Kasian kamunya donk.’ Balasku Kawanku hanya membalas, ‘pasrah mb, gimana lagi’--- Oalaaaah, terjadi, terjadi lagi….. berapa banyak lagi kasus-kasus serupa, seorang urung menikah hanya gara-gara hmm, ga sekufu, ga sepaham, ga seprinsip, ga sefikroh, ga se ormas. Saya mengerti, bahwa kufu’ itu salah satu pokok yang penting ketika hendak memilih calon pasangan, tapi kita terlanjur kecekok jika ku’fu yang dimaksud harus ‘sama’ apalagi yang berkait dengan soal pemikiran. Alasannya, lho, nanti kalo ga sefikroh bakal timbul kress dalam rumah tangga—siapa bilang? Lho nanti kalo ga sekufu bisa timbul banyak masalah—kelaut aja deeh, orang hidup juga banyak masalah Lho, sefikroh itu biar meminimalkan masalah—Gusti Alloh itu ga beda-bedain hambanya mo dikasih masalah berat ato ringan Lho, kalo sekufu biar sama-sama imbang—Gusti Alloh itu sudah menakar rejeki dan kemampuan hambanya. Ada banyak pasangan yang berbeda kufu, paham, fikroh toh langgeng-langgeng saja. Kita terlalu naïf, terlalu takut, terlalu mempersulit diri kita sendiri termasuk mengada-adakan criteria yang ga syar’i soal jodoh. Lha ini hanya masalah tidak terikat ‘ormas’ saja jadi masalah—tidak jadi menikah. Diluar sana, masih banyak orang-orang baik yang menunggu jodoh tapi tak tampak-tampak, yang disini dipermudah caranya tapi masih keblinger dengan syarat ini itu. Prihatin sekali rasanya. Yang lebih prihatin lagi ketika suatu waktu membantu menghubungkan seorang teman tetapi terganjal urusan sefikroh dan tidak sefikroh atau ‘guru’nya tidak sepakat karena alasan yang bagi saya tidak syar’i sama sekali. Kalo bisa saya teriak, bahkan bisa jadi orang-orang yang tidak sepaham, sefikroh dengan mereka bisa lebih baik, lebih sholih. Apakah orang-orang diluar fikroh mereka kemudian tidak lantas layak masuk surga? ayah bunda, liatlah anak-anak kalian ingin sekali menikah, mbok yaa dipermudah jalannya, tidakkah kalian jadi orangtua yang egois ketika menolak seseorang yang dengan jiwa besar, keberanian dan tanggung jawab melamar anak kalian? Jadilah orangtua yang bijak. Temans, anda punya hati nurani. Menikah itu hak kalian, taat orang tua itu wajib tapi cobalah bicara keinginan kalian biar sama-sama enak tidak lantas taklid terhadap perkataan orangtua atau ‘guru’ kalian. Lha wong hidup kalian yang menjalani. Jangan sampai menyesal atas pilihan atau paksaan orang lain. Jangan sampai kegalauan teman-teman yang belum jadi menikah gara-gara mematuk keriteria tertentu ini berakhir dengan ‘yo weslah, seadanya, sing penting, islam, lanang/wadon, ambegan’!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline