Kebudayaan Indonesia sejak dulu diminati oleh para warga negara asing (WNA) untuk dipelajari. Keunikan dan keberagamannya konon tiada duanya di dunia. Selain karena kekhasan bentuknya, terdapat kekuatan nilai filosofis yang terkandung dalam masing-masing elemen kebudayaan itu sendiri.
Jumlah WNA pelaku budaya Indonesia pun meningkat dari tahun ke tahun. Tidak hanya sekedar belajar, namun juga mempraktekkannya dalam keseharian atau bahkan menjadikan tari, gamelan, batik atau wayang sebagai ladang pekerjaan mereka. Hal ini patut diapresiasi karena mereka secara nyata turut membantu pelestarian dan promosi budaya Indonesia.
Kiprah mereka telah menjadi kebanggaan bagi Indonesia. Mereka telah diakui sebagai aset diplomasi budaya Indonesia dan mulai dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan Indonesia baik di dalam maupun luar negeri. Beberapa orang bahkan menerima penghargaan khusus dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan lembaga kebudayaan di Indonesia.
Kecintaan para WNA pada budaya Indonesia diharapkan mampu mendorong orang-orang di Indonesia untuk tidak mau kalah. Bila orang yang tak terlahir di Indonesia saja bisa sedemikian aktif dalam mengembangkan budaya Indonesia, maka kita yang sejak kecil dibesarkan di Indonesia pun seharusnya turut aktif dalam upaya pemajuan dan pelestarian budaya Indonesia.
Salah satu dari budayawan dari luar negeri itu adalah Prof. Matthew Isaac Cohen. Sejarawan dan antropolog lulusan Universitas Harvard dan Yale di Amerika Serikat ini sudah mempelajari seni wayang kulit sejak tahun 1988 saat beliau menjadi mahasiswa Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta dengan beasiswa Fulbright.
Petualangan beliau mendalami dunia wayang berlanjut hingga ke kota-kota lain di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sekembalinya dari Indonesia, beliau terus mengembangkan kemampuannya mendalang. Tercatat beliau pernah menampilkan wayang kulit di British Museum, Harvard University, the Vanvouver Gamelan Festival, Festival of Ideas Cambridge University, Pemakaman Astana Gunung Jati, Sono Budoyo, Festival Wayang Nasional TMII, Linden-Museum Stuttgart dan Yale University Art Gallery.
Sosok yang kini menjabat sebagai Professor Teater Internasional dan Direktur Pusat Pengkajian Teater dan Tari Asia di Royal Holloway, University of London itu berkesempatan hadir kembali ke Indonesia pada bulan Juli dan Agustus ini. Kedatangannya kali ini spesial karena mengajak empat orang rekannya yaitu Andy Channing, Robert Campion, Katie Bruce, Elly Gladman dan putrinya Hannah Cohen.
Profil rekan-rekan Prof. Cohen tidak kalah mentereng. Andy Channing adalah pendiri dan direktur artistik dari Gamelan Lila Cita (Bali) yang berbasis di Inggris. Sejak tahun 1991, Andy sudah mengajar gamelan di berbagai universitas dan komunitas yang tersebar di Inggris, Portugal dan Perancis. Robert Campion yang merupakan Direktur Musik Gamelan pada Universitas Cambridge ini merupakan fasilitator untuk organisasi Good Vibrations yang menggagas program gamelan bagi para narapidana di lembaga pemasyarakatan di Inggris.
Sementara itu, Katie Bruce telah menceburkan diri dalam dunia gamelan sejak tahun 2009 saat belajar gamelan degung dengan Simon Cook di Royal Holloway, University of London. Kini ia aktif tampil di beraneka pertunjukan bersama berbagai komunitas gamelan di Eropa. Rekannya, Elly Gladman belajar karawitan pada Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung pada tahun 2014 dan melanjutkan kiprahnya menabuh gamelan bersama Southbank Gamelan Players di London dan Gamelan Naga Mas di Glasgow.
Peribahasa 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya' sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana Hannah Cohen mengikuti jejak ayahnya dalam mencintai seni wayang dan gamelan. Mahasiswi semester 4 pada jurusan ilmu komputer di Universitas Heriot-Watt of Scotland ini mulai tertarik pada wayang sejak masih kanak-kanak. Kini ia turut tampil bersama ayahnya dan berperan sebagai cantriknya dalang.
Mereka berenam datang ke Indonesia bukan untuk liburan melainkan dalam rangka Pentas Wayang Kulit di sepuluh titik di wilayah Pantai Utara (Pantura) Jawa. Kegiatan ini didukung oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Kedutaan Besar Republik Indonesia di London, dan pemerintah-pemerintah daerah di kota/kabupaten yang menjadi lokasi pementasan, Kasultanan Kasepuhan Cirebon dan Kasultanan Kacirebonan.