Latar Belakang
Pembagian harta waris sebelum pewaris meninggal dunia merupakan praktik yang cukup sering ditemui dalam masyarakat, baik di perkotaan maupun pedesaan. Praktik ini seringkali didorong oleh berbagai alasan, mulai dari kekhawatiran akan perselisihan di kemudian hari, hingga keinginan untuk memastikan kesejahteraan anak-anak atau kerabat lainnya. Di Indonesia, hukum waris memiliki berbagai macam bentuk aturan yang diatur berdasarkan Hukum Perdata (BW), Hukum Islam dan juga Hukum Adat. Masing-masing hukum tersebut memiliki aturan dan karakterisitik dalam mengatur system kewarisan. Dalam konsep Burgerlijk Wetboek yang merupakan nama lain dari Kitab UndangUndang Hukum Perdata, hukum waris merupakan ketentuan yang berkaitan dengan peninggalan asset berharga dari individu yang telah meninggal dunia dan dialihkan kepada seseorang lainnya yang disebut sebagai ahli waris. Bisa disebutkan bahwa hukum waris ini dapat dikatakan termasuk dalam komponen Hukum harta kekayaan . Kemudian dalam Hukum Islam, waris merupakan aturan yang mengatur pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hal ini berarti menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, porsi bagian masing-masing ahli waris, menentukan bagian harta peninggalan dan harta warisan yang diberikan kepada ahli waris. Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadis Rasulullah saw dan ijma' . Sedangkan hukum waris adat merupakan serangkaian peraturan yang mengatur penerusan dan pengoperan harta peninggalan atau harta warisan dari suatu generasi ke generasi lain, baik yang berkaitan dengan harta benda maupun yang berkaitan dengan hak-hak kebendaan3 . Berdasarkan keterangan diatas, maka secara umum, hukum waris adalah seperangkat aturan yang mengatur tentang pembagian harta kekayaan seseorang setelah meninggal dunia. Di Indonesia, hukum waris memiliki peran yang sangat penting dalam memastikan bahwa harta yang ditinggalkan dapat dibagi dengan adil dan sesuai dengan kehendak almarhum. Hukum waris ini tidak hanya berkaitan dengan siapa yang berhak mendapatkan harta, tetapi juga tentang cara dan proses pembagian harta tersebut . Warisan merupakan esensi kausalitas (sebab pokok) dalam memiliki harta, sedangkan harta merupakan pembalut kehidupan, baik secara individual maupun secara universal. Maka dengan harta itulah jiwa kehidupan selalu berputar. Dalam hukum waris tersebut di tentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa-siapa yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian mereka masing- masing, bagaimana ketentuan pembagiannya, serta diatur pula berbagai hal yang berhubungan dengan soal pembagian harta warisan
Pelaksanaan Pembagian Harta Waris Sebelum Pewaris Meninggal Dunia Perspektif Sosiologi Hukum Islam
Pelaksanaan pembagian harta kepada ahli waris yang dilakukan pewaris ketika pewaris masih hidup dapat terakomodir pada pasal 195 butir (3) dan 211 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 195 butir (3) tersebut mencantumkan bahwa "Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris". Adapun pada pasal 211 dicantumkan bahwa "Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan". Artinya adalah pewarisan harta yang dilakukan pewaris terhadap ahli warisnya ketika pewaris masih hidup dapat diidentikkan dengan pewarisan melalui wasiat atau pewarisan melalui hibah . Hukum kewarisan Islam memiliki asas kematian yang berarti kewarisan terjadi apabila ada yang meninggal dunia, kewarisan ada sebagai akibat dari meninggalnya seseorang, asas kematian merupakan salah satu prinsip tentang adanya orang yang meninggal dan meninggalkan harta warisan. Jadi harta yang dibagikan kepada ahli waris mutlak disebabkan adanya yang meninggal dunia dan meninggalkan ahli warisnya. Dengan demikian, system kewarisan Islam itu ab intestate dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang disebut testament. Karena wasiat itu dinyatakan oleh pewaris sebelum meninggal dunia. Oleh karena itu, pengalihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti menyatakan bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain selama orang yang mempunyai harta masih hidup. Demikian juga, segala bentuk pengalihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah meninggalnya, tidak termasuk kategori kewarisan menurut hukum Islam . Berdasarkan hukum, pembagian harta waris sebelum pewaris meninggal dunia umumnya dikategorikan sebagai hibah atau wakaf, yang mana Hibah merupakan pemberian harta secara sukarela dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup. Hibah ini sah jika dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, seperti adanya kemampuan hukum dari pemberi hibah, penerima hibah yang jelas, dan objek hibah yang dapat dihibahkan. Kemudian wakaf merupakan pengalihan sebagian harta tidak bergerak atau bergerak yang tidak habis dipakai manfaatnya dengan niat ibadah untuk tujuan-tujuan tertentu sesuai dengan syariat Islam.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Untuk Melakukan Pembagian Harta Waris Sebelum Pewaris Meninggal Dunia
Pengalihan harta waris sesudah pewaris meninggal dunia merupakan proses yang universal dalam setiap hukum waris, tetapi pengalihan harta sebelum pewaris meninggal dunia dan merupakan proses dalam pembagian warisan setelah pewaris meninggal dunia, hal ini tidak biasa dalam hukum waris pada umumnya, namun hal tersebut dalam hukum adat merupakan penerapan dari salah satu asas atau prinsip pewarisan yaitu menurut hukum adat, harta peninggalan itu adalah meliputi semua harta benda yang pernah dimiliki oleh si peninggal harta semasa hidupnya. Jadi tidaklah hanya terbatas terhadap harta yang dimiliki pada saat si peninggal harta meninggal. Pembagian Warisan oleh Pewaris kepada ahli Waris sebelum pewaris meninggal dilakukan atas dasar niat orang tua yang ingin membagikan warisan sebelum pewaris (orang tua) meninggal dengan cara damai dan mufakat bersama keluarga. Adapun beberapa Faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk membagi harta waris sebelum pewaris meninggal dunia, antara lain:
1. Faktor Permasalahan Dalam Ekonomi.
Masalah ekonomi merupakan faktor yang melatarbelakangi terhadap pembagian harta mengunakan cara Pembagian Warisan oleh Pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris meninggal karena masalah ekonomi. Hal tersebut dilakukan karena orang tua melihat adanya kebutuhan yang dimiliki oleh para anak-anaknya.
2. Faktor Keagamaan.
Pembagian Warisan oleh Pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris meninggal dikarenakan alasan terhadap keamanan harta yang akan ditinggalkan oleh orang tua dengan maksud dan tujuannya untuk menghindari adanya kesalahpahaman dan kecemburuan yang mengakibatkan perselisihan antara anak-anaknya, maka dari itu orang tua atau calon pewaris lebih mengutamakan menggunakan konsep pembagian berdasarkan Pembagian Warisan oleh Pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris meninggal.
3. Faktor Adat Istiadat
Pembagian warisan oleh pewaris kepada Ahli waris sebelum pewaris meninggal dunia dikarenakan adanya tradisi adat istiadat tertentu.
4. Faktor Kekhawatiran akan persengketaan.
Masyarakat membagi harta waris sebelum meninggal dunia adalah untuk mengindari adanya perselisihan dan percekcokan setelah pewaris meninggal dunia, maka dari itu untuk menjaga kerukunan dan memenuhi rasa keadilan pewaris melakukan pembagian harta waris sebelum ia meninggal dunia.
Berdasarkan beberapa faktor diatas, dapat kita simpulkan bahwa hakikat dari Pembagian Warisan oleh Pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris meninggal yakni untuk mempermudah pembagian harta warisan apabila suatu saat orang tua meninggal dunia maka secara otomatis diwajibkan kepada penerus atau keturunan yang meyakini bahwa pembagian dengan cara Pembagian Warisan oleh Pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris meninggal akan memberikan kepastian pewaris atau orang tua tentang bagian untuk ahli waris atau anak-anaknya, karena persoalan harta merupakan persoalan yang sangat sensitive dan akan menimbulkan perasaan tidak puas atau iri dikarenakan sifat keserakahan dan akan berdampak pada keretakan hubungan keluarga.